Imam Shamsi Ali
Presiden Nusantara Foundation,
Imam/Direktur Jamaica Muslim Center
Manusia itu lemah. Salah satu kelemahan manusia adalah terbatas oleh banyak batas-batas kemanusiaan itu sendiri. Dan karenanya seringkali memahami banyak hal dengan “pembatasan” dan “keterbatasan” dirinya sendiri.
Satu di antara wujud keterbatasan manusia itu adalah ketika memberikan pujian san/atau sebaliknya melemparkan kritikan biasanya dibatasi oleh batasan-batasan relativitas kemanusiaannya. Apakah itu karena ada kepentingan, pertemanan, kekeluargaan, kelompok kesukuan atau agama, dan tentunya karena batasan politik.
Pujian atau sebaliknya kritikan dalam ajaran agama Islam sesungguhnya adalah sesuatu yang diapresiasi (didukung) oleh ajaran agama. Pujian adalah bentuk “apresiasi” kepada seseorang yang punya karunia kelebihan. Sebaliknya kritikan adalah salah satu bentuk “tadzkirah” atau peringatan dalam agama Islam yang menjadi karakteristiknya sebagai ajaran yang menjunjung tinggi “amar ma’ruf-nahi mungkar”.
Dan karenanya sebenarnya memuji dan atau mengkritik itu hal biasa dalam relasi sosial manusia. Tidak ada yang aneh. Apalagi dianggap sebagai sesuatu yang menentukan segalanya. Mungkin kalau saya ingin mengekspresikan dengan bahasa jalanan (street language): “take it easy man. Biasa aja bos!”.
Tapi memang di situlah salah satu titik kelemahan manusia. Ketika dipuji maka seolah kakinya tidak lagi berpijak di bumi. Lupa diri, lupa lingkungan, bahkan bisa saja lupa Dia Yang meminjamkan kelebihan dan pujian itu.
Sebaliknya ketika seseorang mendapat kritikan maka langit seolah runtuh. Dunianya seolah berakhir dan hancur. Mengalami sensitivitas yang tinggi dan alergi kritikan. Yang mengkritiknya dianggap jahat. Bahkan dipandang musuh yang harus dimusnahkan.
Pada sisi lain kelemahan manusia ada pada saat mengekspresikan pujian dan kritikan. Sering ketika memuji dan/atau mengkritik tidak lagi memakai standar nilai. Bahwa memuji atau mengkritik itu harus terbangun di atas dasar “kebenaran” dan “keadilan”. Itulah nilai (value) yang menjadi dasar pujian atau sebaliknya kritikan kepada seseorang.
Seseorang dipuji atau terpuji karena ada nilai kebenaran dan keadilan pada dirinya. Sebaliknya, seseorang akan dikritik ketika nilai kebenaran dan keadilan itu tidak ada pada dirinya. Apalagi merendahkan kebenaran dan keadilan itu.
Tapi lagi-lagi kelemahan manusia membatasinya dalam menjunjung nilai itu dalam pujian atau kritikan. Manusia seringkali melemparkan pujian kepada seseorang bukan lagi didasarkan nilai (kebenaran dan keadilan) tadi. Tapi karena dorongan yang bersifat relatif dan rendah.
Itulah yang terjadi di zaman dunia yang penuh fitnah ini. Ada yang memuji atau mengkritik karena kepentingan sesaat tertentu. Ada juga karena kedekatan pribadi. Atau karena ikatan sosial, termasuk karena sesuku, seorganisasi, separtai, dan juga karena seagama.
Seseorang dipuji atau terpuji karena ada nilai kebenaran dan keadilan pada dirinya. Sebaliknya, seseorang akan dikritik ketika nilai kebenaran dan keadilan itu tidak ada pada dirinya. Apalagi merendahkan kebenaran dan keadilan itu.
Tapi lagi-lagi kelemahan manusia membatasinya dalam menjunjung nilai itu dalam pujian atau kritikan. Manusia seringkali melemparkan pujian kepada seseorang bukan lagi didasarkan nilai (kebenaran dan keadilan) tadi. Tapi karena dorongan yang bersifat relatif dan rendah.
Itulah yang terjadi di zaman dunia yang penuh fitnah ini. Ada yang memuji atau mengkritik karena kepentingan sesaat tertentu. Ada juga karena kedekatan pribadi. Atau karena ikatan sosial, termasuk karena sesuku, seorganisasi, separtai, dan juga karena seagama.
Dan tentunya yang terpenting juga adalah motivasi pujian dan kritikan itu perlu tujuan yang jelas. Memuji sebagai bentuk apresiasi sekaligus dukungan kepada kebenaran dan keadilan. Mengkritik sebagai bentuk identifikasi kesalahan sebagai wujud amar ma’ruf nahi mungkar.
Bagi saya pribadi pujian dan/atau kritikan itu adalah terjemahan dari doa: “Allahumma arinal haqqa haqqan warzuqna ittiba’ahu. Wa arinal bathila bathilan warzuqna ijtinaabahu” (ya Allah perlihatkan kepada kami kebenaran sebagai kebenaran dan kuatkan kami untuk mengikutinya. Dan perlihatkan kepada kami kebatilan sebagai kebatilan dan kuatkan kami untuk menghindarinya).
Tapi untuk mampu memuji dan/atau mengkritik berdasar nilai ini diperlukan karakter benar dan adil pada diri sendiri. Jika tidak maka kata orang Arab: “faqidus syaei laa yu’thii”. Yang tidak punya apa-apa bagaimana mungkin bisa memberi?