AKSARANEWSROOM.ID – Kota Kapur diyakini sebagai salah satu kota dagang atau jalur perdagangan rempah-rempah di Pulau Bangka, kala itu dimulai dari masa Sriwijaya. Salah satu komoditas ekspor pada masa itu ialah Lada Bangka, sebutan lainnya oleh masyarakat di Pulau Bangka adalah Sahang.
Lada atau dengan nama latin Piper Ningrum di Pulau Bangka dikenal dengan sebutan Sahang, berbulir besar dengan kadar kepedasan tinggi. Pada masyarakat Pulau Bangka, Sahang dikenal secara turun temurun.
Budayawan dan Sejarawan Bangka Belitung, Drs Akhmad Elvian dalam artikel ilmiah berjudul ‘Lada Putih Bangka (Bangka White Pepper)’ menuliskan, di pulau Bangka ada ungkapan “Peperduur” yang berarti ‘Semahal Lada’.
Ungkapan tersebut membuktikan, bahwa: Lada atau Sahang (Lada berbulir besar) memberi banyak uang ke tangan seluruh penduduk pulau Bangka” (Residen Bangka, Hooyer DG, memerintah Tahun1928-1931).
Lada sebagai tanaman rakyat yang paling penting di Bangka, berkat Sahang atau Lada kemakmuran dan kesejahteraan pun meningkat. Jumlah orang Bangka yang menunaikan ibadah haji pada tahun 1914 lebih dari 200 orang dan meningkat pada tahun 1926/1927 menjadi 500 orang dan lebih dari 600 orang pada tahun 1928 (Heidhues, 2008:107).
Secara keseluruhan lada memberikan kesejahteraan bagi penduduk pribumi. Residen Belanda Hooyer pada Tahun 1931 memperkirakan Lada memberikan banyak kesejahteraan bagi penduduk Bangka dibandingkan Timah.
Perdagangan Lada Bangka sebagai salah satu komoditas ekspor setidaknya telah dimulai pada masa Sriwijaya. Catatan Cina, Hsin-tang-shu atau sejarah Dinasti Tang pada abad ke-7 Masehi menyebutkan, bahwa Kedatuan Sriwijaya kala itu memiliki 14 kota dagang, salahsatunya adalah Kotakapur Bangka.
Sebagai kota dagang, keletakan Kotakapur merupakan dataran yang berhadapan langsung dengan perairan di Selat Bangka atau pesisir timur pulau Sumatera.
“Tempat peradaban besar Pulau Sumatera dan tampaknya Kotakapur adalah salah satu pelabuhan pendukung (feeder point) bagi Kedatuan Sriwijaya,” ujar Elvian dalam karyanya yang diterima wartawan pada pertengahan tahun 2021.
Sebagai pelabuhan pendukung— feeder point, kata Elvian, Kotakapur merupakan pusat perdagangan lokal kecil yang melayani entrepot-entrepot dan pusat pengumpulan regional yang penting. Pelabuhan kategori ini menangani produk khusus dari zona ekonomi tertentu.
Berbeda dari entrepot, dijelaskan Elvian, distribusi dari pelabuhan pendukung ditentukan oleh dekatnya tempat ini ke daerah-daerah sumber atau zona pemasok.
Pelabuhan pendukung seperti itu memperlihatkan ciri-ciri sebagai tempat asal hasil alam dan kerapkali terdapat dipertemuan
aliran sungai di daerah pedalaman dan muara sungai kecil di pantai (Trisulistyono, dkk, 2003:V).
“Berdasarkan ciri-ciri di atas dan berdasarkan keletakan geografis Kotakapur sangat memungkin sekali jika Kotakapur menjadi salah satu dari kota dagang dan kota pelabuhan pendukung (feeder point) bagi Kedatuan Sriwijaya,” ungkapnya.
Salah seorang peneliti sejarah Sriwijaya, J.C. van Leur, merinci jenis-jenis komoditas ekspor dari Kedatuan Sriwijaya, yakni kayu gaharu, kapur barus, cendana, gading, timah, ebony atau kayu hitam, kayu sapan, rempah-rempah, dan kemenyan.
Sementara itu menurut berita dari sumber negeri Arab, komoditas yang diperdagangkan dan berasal dari Kedatuan Sriwijaya pada masa itu adalah Cengkeh, Pala, Kapulaga, Pinang, Kayu Gaharu, Kayu Sapan, rempah-rempah, Penyu, Emas, Perak, dan Lada.
Komoditas seperti Penyu, Kayu Gaharu, Kemenyan, Lada, Pinang dan Timah merupakan komoditas yang relatif banyak dihasilkan di pulau Bangka.
Sementara itu Pinang relatif banyak di pulau Bangka malah ada tempat di pulau Bangka yang disebut Pangkalpinang (pinang dalam Bahasa Cina disebut pinlang atau pinkong dalam dialek Cina Bangka), Pinang Sebatang, Pinang Yang, Pinang Dua, Pinang Seribu dan
Djambei yang juga berarti Pinang.
Elvian berujar banyaknya penamaan tempat atau wilayah geografis dengan nama spesifik Pinang menunjukkan banyaknya pohon Pinang yang ditanam di pulau Bangka.
“Pinang juga terkait pada budaya masyarakat Bangka, dikenal istilah seperti dipinang, pinangan, opih Pinang, bagai pinang dibelah dua, Pinang Kering, Pinang sebatang, mabukpinang, sirih pinang,” kata sejarawan asal Bangka itu.
Sementara itu Komoditas Timah sangat banyak di pulau Bangka. Toponimi pulau Bangka sendiri berasal dari kata bahasa sanksekerta Wangka/Vangka yang berarti Timah.
Temuan terak logam di situs Kotakapur menunjukkan, bahwa biji Timah telah ditemukan di pulau Bangka pada masa ini dan Timah merupakan bahan campuran untuk membuat barang-barang dari perunggu. Perunggu merupakan campuran tembaga dan Timah.
Pulau Bangka juga menghasilkan Kayu Wangi species gonystylus bancanus yang lebih wangi dari gaharu atau aquilaria (Thymelaeaceae) yang sangat laku di pasaran negeri Persia.
Setelah masa Sriwijaya, catatan tentang perdagangan Lada berlanjut sekitar abad XVII
Masehi. Pada abad XII Masehi, Kesultanan Banten berkembang mencapai puncak kejayaannya
seiring dengan perkembangan penyebaran agama Islam, perkembangan politik dengan
melemahnya Kesultanan Demak dan perkembangan perdagangan intercontinental.
Sebelum menjadi satu kesultanan, Banten sudah menjadi negeri penghasil Lada yang penting di dunia. Selama abad XVI Masehi perdagangan rempah-rempah (termasuk Lada) dunia didominasi oleh bangsa Portugis dengan Lisbon sebagai pelabuhan utama.
Sebelum revolusi di Belanda, Kota
Antwerp di negeri Belanda memegang peran sebagai distributor rempah-rempah di Eropa Utara, akan tetapi setelah Tahun 1591 Masehi, Portugis melakukan kerjasama dengan firJerman, Spanyol dan Italia dengan menjadikan Hamburg sebagai pelabuhan distributor dan tidak
melewati negeri Belanda.
“Hal inilah yang pada masa-masa selanjutnya mendorong Belanda memasuki perdagangan rempah-rempah interkontinental,” ungkap Elvian.
Untuk menjaga pasokan dan distribusi Lada dari Banten dilakukanlah perjanjian antara raja Sunda penguasa Banten bergelar “Samiam” dengan Henrique Lem utusan Gubernur Portugis di Malaka Jorge d’Albuquerque.
Sebagai imbalan bantuan Portugis melawan musuhnya kerajaan Islam Demak, maka Portugis oleh raja Sunda diperbolehkan mendirikan benteng dan diberi jaminan dalam pelayarannya menuju Banten.
Benteng tersebut kemudian didirikan di wilayah Kalapa dan di daerah ini didirikan batu peringatan Padrao dalam bahasa Portugis. Perjanjian antara Portugis dan kerajaan Sunda dibuat pada tanggal 21 Agustus 1522 Masehi ditandai dengan batu peringatan Padrao dalam bahasa Portugis.
Padrao ditemukan di Jalan Cengkeh, Jakarta yang dahulu bernama Prinsen Straat, sekarang Padrao tersimpan di Museum Nasional Jakarta dengan nomor inventaris 18423/26.
Rute perjalanan pelayaran perdagangan yang dilindung raja Sunda tersebut meliputi, pertama sekali dari pulau Aur ke Banten, tempat yang dilalui pelayaran ini antara lain Chang-yao shu (pulau Mapor), Lung-ya-ta-shait (Gunung Daik di pulau Lingga), Man-t’ouhsu (pulau Roti?), Chi-shu (pulau Tujuh) dan Peng-chia shan (gunung Bangka gunung Menumbing), sampai di mulut sungai Palembang perahu bisa masuk ke hulu ke Chiii-chiang—surga Palembang.
Perjalanan dilanjutkan ke arah selatan memasuki Selat Bangka melalui selat yang sempit antara Tanjung Tapa dan Tanjung Berarti, San-mai shu (pulau Maspari), Kuala Tu-ma-heng (Wai Tulang Bawang), dan Lin-ma to (Wai Seputih).
Dilanjutkan melalui Kao-Ta-lan-pang (Wai Sekampung), Nu-sha la (Ketapang), Shih-tan (pulau Sumur). Dari sini arah diubah ke tenggara dan setelah Tujuh jam kemudian sampai di Shun-t’a (Sunda) (Mills, 1984:127).
Pelayaran atau rute perdagangan ini sangat jelas dilakukan dengan menyusuri kawasan di sekitar pantai Timur Sumatera, pulau di Utara pulau Bangka yaitu pulau Tujuh (Chi-shu) terus ke pulau Bangka dan rute perjalanan terus memasuki selat Bangka untuk kemudian terus menuju Sunda (Shun-t’a).
Perjanjian ini hanya berlangsung singkat karena pada Tahun 1527 Masehi, karena kemudian Fatahillah berhasil menguasai Sunda Kelapa dari tangan Portugis. Kawasan atau rute perdagangan Lada di bagian Barat Nusantara tersebut menjadi
perhatian utama bagi Kesultanan Demak, Kesultanan Banten, Kesultanan Palembang serta kerajaan-kerajaan di pesisir Timur pulau Sumatera seperti Riau Lingga dan Jambi.
Perebutan pengaruh dan penguasaan atas pelayaran dan rute perdagangan kemudian menjadi penyebab utama perang antara Kesultanan Banten dan Kesultanan Palembang ketika Banten pada waktu itu diperintah oleh Sultan Maulana Muhammad bergelar Kanjeng Ratu Banten Surosowan atau Pangeran Ratu ing Banten (memerintah Tahun 1580-1596 Masehi).
Maulana Muhammad yang
didampingi oleh Mangkubumi dan Pangeran Mas mengerahkan sekitar 200 kapal perang. Selain itu Maulana Muhammad memerintahkan penguasa Lampung, Seputih dan Semangka untuk menyerang Palembang dari darat.
Dalam pertempuran di Palembang dan di sekitar sungai Musi, Maulana Muhammad tewas dan pasukannya kembali ke Banten. Maulana Muhammad dikebumikan di serambi masjid Agung Banten dan dikenal dengan sebutan Prabu Seda ing Palembang atau Pangeran Seda ing Rana.
Pada saat peperangan antara Kesultanan Banten dan Palembang, salah seorang putera sultan Banten bernama Ratu Bagus melarikan diri ke pulau Nangka kemudian terus pindah dan menetap serta wafat di Bangkakota.
Makam Ratu Bagus di Bangka kota dikenal masyarakat setempat dengan sebutan keramat Ratu Bagus atau keramat
Jatisari.
Pada perkembangan selanjutnya sekitar pertengahan Abad ke-17 Masehi perdagangan Lada ditandai dengan campur tangan bangsa asing kulit putih bangsa Belanda yang tergabung dalam kongsi dagang VOC (Verenigde Oost-Indische Compagnie).
Pada Tahun 1642 Masehi atau masa Kerajaan Palembang diperintah Pangeran Sedo ing Kenayan, kerajaan Palembang telah mengadakan ikatan perjanjian perdagangan Lada dengan VOC di Batavia dan pada Tahun 1710 Masehi, ikatan perjanjian Lada tersebut kemudian diperbaharui pemerintah Hindia Belanda dengan perdagangan Timah (Alfiah, dkk, 1983/1984:28).
Pada Tahun 1722 Masehi, tercapai
kesepakatan antara kongsi dagang Belanda VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie) dengan Sultan Ratu Anum Komaruddin dari Palembang terkait monopoli penjualan Timah.
Kesepakatan ini membuka pintu lebih lebar bagi Belanda untuk memborong Timah dari wilayah-wilayah di Bangka, termasuk Toboali (ANRI, Laporan K. Heynis, Residen Bangka dan Palembang kepada Comissarissen mengenai distrik Blinjoe, Soengi Liat, Marawang dan Pankal Pinang Tahun 1818).
Pada Tanggal 13 Februari 1682 Masehi, Pangeran Aria, putera sultan Abdurrahman
mendirikan Benteng di Bangkakota, di sungai bernama sama, dengan satu unit pasukan dari
Makassar.
Pembangunan Benteng ini terutama bertujuan untuk mengamankan jalur sempit pelayaran dan perdagangan Lada dan Timah di Selat Bangka yang terletak dekat dengan Bangkakota. (Dagh-Register 13 Februari 1682 Vol.I, hal. 169).
Pembangunan benteng ini ditentang oleh VOC karena mengganggu alur perdagangan Lada dan sebagai ancaman bagi kapal-kapal VOC di kawasan tersebut.
Sultan Abdurrahman pada tahun 1662-1706 Masehi sebagai pendiri Kesultanan Palembang Darussalam telah meletakkan tata kehidupan sosial, ekonomi, politik dan budaya yang kuat bagi masyarakat dalam wilayah Kesultanan Palembang Darussalam termasuk di wilayah Sindang di pulau Bangka.
Wilayah Sindang adalah sebutan untuk suatu daerah yang berada di perbatasan wilayah kesultanan dan penduduk di daerah Sindang memperoleh status Mardika yang berarti merdeka atau bebas. Tugas utama penduduk daerah Sindang adalah menjaga perbatasan (Hanafiah, 1995:171).
Di samping wilayah Sindang wilayah kesultanan Palembang lainnya adalah wilayah Sikap (Sikep) dan wilayah Kepungutan yang terletak di huluan Palembang.
Pembangunan benteng-benteng atau kubu/parit pertahanan pada masa sultan Abdurrahman merupakan kebijakan politik dan ekonomi kesultanan.
Sultan Abdurrahman mewajibkan bagi daerah-daerah kekuasaannya untuk mengembangkan tanaman Lada. Ia juga membuat sistem
perairan yang dibuat antara Ogan, Komering, dan Mesuji, yang tidak saja digunakan untuk pertanian, namun juga untuk kepentingan pertahanan (Hanafiah, 1995:197-200).
Wilayah-wilayah batin di pesisir Barat pulau Bangka secara umum merupakan wilayah Sindang dan tampaknya pada masa Sultan Abdurrahman, tanaman Lada (disebut Sahang atau Sang) juga dikembangkan di pulau Bangka, akan tetapi seiring dengan mulai dieksploitasinya Timah, karena harga Timah di pasaran dunia meningkat dan Timah menjadi komoditas yang laku di pasaran
dunia, kebijakan kesultanan Palembang untuk wilayah pulau Bangka diubah dan lebih dikembangkan pada sektor pertambangan Timah.
Kebijakan penanaman Lada lambat laun mulai ditinggalkan dan penduduk pulau Bangka mulai beralih ke sektor pertambangan Timah dengan dibukanya parit-parit penambangan Timah dengan tekhnologi sederhana melalui sistem pelubangan berpindah (Tobo-alih).
Baru beberapa abad kemudian yaitu sekitar abad 19 Masehi, tanaman Lada kembali diperkenalkan bagi penduduk pulau Bangka dan Lada kembali memasuki era kejayaannya di pulau Bangka.
Di Bangka ada ungkapan Peperduur (semahal Lada), Lada atau Sahang (Lada berbulir besar) memberi banyak uang ke tangan seluruh penduduk pulau Bangka (Residen
Hooyer 1931), Lada sebagai tanaman rakyat (smallholding) yang paling penting di Bangka, berkat Sahang atau Lada kemakmuran dan kesejahteraanpun meningkat, jumlah orang Bangka yang menunaikan ibadah haji pada Tahun 1914 lebih dari 200 orang dan meningkat pada Tahun 1926/1927 menjadi 500 orang dan lebih dari 600 orang pada Tahun 1928 (Heidhues, 2008:107).
Secara keseluruhan lada memberikan kesejahteraan bagi penduduk pribumi. Residen Belanda Hooyer pada Tahun 1931 memperkirakan Lada memberikan banyak kesejahteraan bagi penduduk Bangka dibandingkan Timah. (hdd/*)