PANGKALPINANG, AksaraNewsroom.ID – Suku Lom Bangka masih menghadapi ketidakpedulian dari pemerintah daerah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Jika kondisi itu berlarut-larut, kebudayaan Suku Lom dan Lembaga Adat Mapor bisa tergerus bahkan mengalami kepunahan.
Demikian kesimpulan hasil audit sosial yang dilakukan AJI Pangkalpinang dari fasilitasi Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) pada Launching Temuan Hasil Pemantauan Kebijakan Pemerintah Daerah melalui Audit Sosial, Sabtu (30/3/2024).
Kahfi Adlan Hafiz dari Perludem mengatakan mitra CSO Perludem di beberapa Provinsi melakukan pemantauan kebijakan Penjabat Gubernur melalui mekanisme audit sosial. Inisiatif ini dilatarbelakangi pada realitas penunjukkan PJ Gubernur yang tidak transparan dan partisipatif, sehingga mengurangi akuntabilitas penjabat kepada Publik.
“Terkait kebijakan apa yang diaudit, AJI Pangkalpinang melakukan audit sosial dan menentukan Pengakuan Hukum Adat Suku Lom menjadi isu prioritas,” kata Kahfi Adlan Hafiz dari Perludem.
Teddy Malaka, dari AJI Pangkalpinang mengungkapkan, persoalan Pengakuan Hukum Adat Suku Lom merupakan sangat penting dan serius untuk dibahas. Bahkan dalam temuan awal, auditor menemukan keberadaaan Suku Lom tidak tersentuh oleh kebijakan pemerintah daerah, sehingga wilayah hukum adat serta kebudayaan Suku Lom terancam punah.
AJI Pangkalpinang melakukan audit sosial dengan metodologi wawancara dan studi dokumen. Ada beberapa pihak yang dilakukan wawancara yakni pembina Lembaga Adat Mapor (LAM), Kepala Bappeda Bangka Belitung, Dinas Sosial dan Pemberdayaan Masyarakat Desa Bangka Belitung, organisasi masyarakat sipil yakni Walhi dan organisasi pers.
Sedangkan studi dokumen yang dianalisis adalah Perda No 7 Tahun 2022 tentang APBD Tahun 2023, Rencana Pembangunan Daerah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung Tahun 2023-2026 dan RKPD Bangka Belitung 2023. Dari dokumen tersebut, pada Rencana Pembangunan Daerah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung Tahun 2023-2026 ditemukan sejumlah program dan aggaran untuk kegiatan Program Pemberdayaan Lembaga Kemasyarakatan, Lembaga Adat Dan Masyarakat Hukum dat yakni sebesar Rp2.543.760.255 pada tahun 2023, Rp2.453.904.385 pada tahun 2024, Rp2.547.888.385 pada tahun 2025 dan Rp2.682.515.749.
Sesuai dengan RPD tersebut, pada Perda No 7 Tahun 2022 tentang APBD Tahun 2023 program penataan desa di Dinas Sosial dan Pemberdayaan Masyarakat Desa memiliki program, tetapi belum terlihat kejelasan dalam penataan kesatuan masyarakat hukum adat (MHA) Suku Lom. Setelah dilakukan wawancara, program tersebut tidak sama sekali menyasal masyarakat adat Suku Lom.
“Berdasarkan temuan dalam wawancara yang dilakukan, dari program yang dilaksakanan dalammRKPD Bangka Belitung tahun 2023, tidak ada kegiatan yang menyasar Lembaga Adat Mapor atau Suku Lom. Itu juga dikuatkan engan wwawancara dengan Pembina Lembaga Adat Mapor, tidak ada
dana yang dikucurkan oleh pemerintah terhadap Suku Lom. Program pengakuan MHA dilaksanakan di Belitung, sehingga dampaknya terhadap Suku Lom Bangka masih belum terlihat signifikan,” ujar Teddy Malaka.
Teddy Malaka menyatakan, dari wawancara dengan berbagai pihak menunjukkan bahwa Suku Lom Bangka, terutama Lembaga Adat Mapor, tidak mendapatkan dukungan finansial dari pemerintah, sehingga belum memberikan dampak positif pada kelompok marjinal tersebut. “Pembina Lembaga Adat Mapor menyatakan bahwa Suku Lom tidak merasakan manfaat besar dari program pemerintah. Pengakuan dan dukungan anggaran masih belum mencapai kelompok rentan tersebut. Pembangunan gebong memarong yang merupakan rumah adat Suku Lom dilakukan oleh
PT Timah Tbk melalui program CSR dan swadaya dari orang-orang lum serta warga yang peduli,” kata Teddy Malaka.
Dalam proses audit sosial ini, dalam wawancara dengan Teddy Malaka, Kepala Bappeda Fery Insani mengaku belum ada program secara khusus terhadap pengakuan masyarakat hukum adat Lembaga Adat Mapor/Suku Lom dan berterima kasih telah diingatkan tentang tidak adanya anggaran kepada
Lembaga Adat Mapor/Suku Lom. Fery insani mengakui lemahnya partisipasi masyarakat dalam Musrenbang dan mengungkapkan masyarakat mengusulkan program pembangunan fisik, dibandingkan program pengakuan masyarakat hukum adat.
“Meskipun Pemda mendorong keterlibatan publik melalui Musrenbang dan usulan RKPD melalui sistem online, terlihat bahwa kelompok marjinal seperti Suku Lom belum tersentuh dan lemahnya partisipasi masyarakat dalam Musrenbang menjadi kendala,” kata Teddy Malaka.
Berdasarkan keterangan Hafiz, Direktur Eksekutif Walhi Kepulauan Bangka Belitung, menyebutkan organisasi masyarakat sipil di antaranya Walhi tidak dilibatkan oleh pemerintah dalam hal perencanaan kegiatan, sehingga menilai partisipasi publik dalam pembangunan sangat kecil. Ketua AJI Pangkalpinang, Barlyanto menyebutkan pemerintah kurang peduli terhadap pengakuan masyarakat hukum adat, penetapan wilayah adat dan hukum adat.
“Minimnya partisipasi masyakat dalam kebijakan anggaran. Seharunya resprestatif masyarkat adalah DPRD, namun wakil rakyar tidak peka terhadap keberaaan Lembaga Adat Mapor, Suku Lom,” kata Barlyanto.
Dari audit sosial tersebut, AJI Pangkalpinang menyimpulkan:
- Berdasarkan hasil audit sosial, dapat disimpulkan bahwa Suku Lom Bangka masih
menghadapi ketidakpedulian dari pemerintah daerah. Suku Lom Bangka, terutama Lembaga
Adat Mapor, mengalami keterpinggiran oleh pemerintah daerah provinsi Kepulauan Bangka
Belitung. - Tidak adanya dukungan finansial yang signifikan dari pemerintah menyebabkan Suku Lom
belum merasakan manfaat besar dari program pembangunan. - Izin usaha pertambangan, konsesi sawit, dan hutan tanam industri menjadi ancaman serius
terhadap ruang hidup Suku Lom. Degradasi lingkungan yang masif disebabkan oleh ekspansi
perusahaan menyebabkan lahan atau hutan adat orang Lom dalam kondisi kritis. - Suku Lom masih belum mendapatkan pengakuan hukum dan perlindungan yang memadai
dari pemerintah daerah. Perlindungan hukum dan pengakuan wilayah adat serta
kebudayaan mereka masih menjadi isu yang belum terselesaikan. - Lemahnya partisipasi masyarakat, termasuk Suku Lom, dalam Musrenbang menjadi kendala
serius dalam menentukan prioritas pembangunan. Prioritas program pembangunan fisik
cenderung lebih diutamakan dibandingkan program pengakuan dan perlindungan
masyarakat hukum adat. - Lembaga Adat Mapor/Suku Lom mengalami ketergantungan pada sumber-sumber eksternal,
seperti bantuan dari PT Timah Tbk, untuk membangun rumah adat. Ketergantungan ini
menunjukkan ketidakberdayaan dalam memperoleh dukungan finansial dari pemerintah
daerah. - Keberpihakan program pemerintah yang dipimpin penjabat kepala daerah belum
menyentuh terhadap masyarakat marginal seperti Suku Lom.
Oleh karena itu AJI Pangkalpinang merekomendasikan: - Pemerintah daerah perlu segera memberikan pengakuan hukum yang jelas terhadap Suku
Lom, termasuk penetapan wilayah adat dan hukum adat. Penyusunan dan penegakan
peraturan daerah yang melindungi ruang hidup dan kebudayaan Suku Lom harus menjadi
prioritas. - Pemerintah daerah harus mengambil tindakan serius untuk melindungi lingkungan hidup
Suku Lom dari dampak negatif industri pertambangan, sawit, dan hutan tanam industri. - Program perlindungan lingkungan yang melibatkan masyarakat hukum adat perlu
dirumuskan dan diimplementasikan. Peningkatan partisipasi masyarakat, termasuk Suku
Lom, dalam proses perencanaan pembangunan harus didorong. - Program pemberdayaan masyarakat hukum adat perlu dikembangkan untuk meningkatkan
kapasitas dan kemandirian mereka. Pemerintah daerah harus mengevaluasi dan memastikan
efektivitas program pengakuan dan pemberdayaan lembaga adat, khususnya Lembaga Adat
Mapor/Suku Lom. - Peningkatan alokasi anggaran yang tepat sasaran untuk mendukung program tersebut perlu
dipertimbangkan. Pemerintah daerah dan lembaga terkait perlu membuka dialog terbuka
dengan Suku Lom untuk memahami lebih baik kebutuhan dan aspirasi mereka. - Mendorong keterlibatan lembaga sipil dan media massa dalam mendukung hak-hak dan
kesejahteraan Suku Lom. Oleh karena itu, direkomendasikan agar pemerintah meningkatkan
keterlibatan publik, memberikan pengakuan hukum adat, dan memberikan dukungan
finansial kepada Suku Lom untuk memastikan keberlanjutan budaya dan kehidupan mereka (***)