PANGKALPINANG, AksaraNewsroom.ID – Ringannya vonis terhadap terdakwa kasus korupsi tata kelola timah serta carut-marut sektor pertimahan di Bangka Belitung (Babel) memicu ketegangan di tengah masyarakat.
Sebagian menganggap kasus ini melemahkan perekonomian daerah, namun mayoritas justru melihat hukuman ringan bagi koruptor dan perusak lingkungan sebagai bentuk ketidakadilan, Selasa (11/2/2025).
Ketua Komisi I DPRD Babel, Pahlevi Sahrum, menegaskan bahwa masyarakat harus bersatu memperjuangkan aset hasil rampasan dari kasus korupsi timah untuk pembangunan daerah.
Hal ini disampaikannya dalam Focus Group Discussion (FGD) bertajuk ‘Timahku, Timahmu, Timah Kita?’ yang digelar MD KAHMI Kota Pangkalpinang di Wilhelmina Park, Minggu (9/2/2025).
“Langkah yang bisa kita lakukan harus sejalan dengan Kejaksaan Agung. Jangan sampai mereka bekerja sendiri tanpa dukungan kita,” kata Pahlevi.
Ia mengkritisi betapa lemahnya kontribusi sektor pertimahan terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD). “APBD kita hanya Rp2,5 triliun. Dulu PAD dari royalti timah bisa mencapai Rp500 miliar, sekarang anjlok ke Rp100 miliar, padahal produksi timahnya tetap sama,” ujarnya.
Menurutnya, ada ketimpangan besar dalam pengelolaan timah yang harus segera diperbaiki. “Ada indikasi bahwa timah belum menjadi milik kita bersama, masih ada pihak-pihak yang mengambil keuntungan sendiri,” tegasnya.
Pahlevi mengungkapkan, DPRD telah berupaya membentuk Panitia Khusus (Pansus) untuk menyoroti persoalan ini.
“Kami sudah mengajukan pembentukan Pansus Tata Kelola Timah. Fraksi Gerindra, Demokrat, dan PKB sudah mengirim surat ke pimpinan, tapi masih terkendala karena belum semua fraksi sepakat. Besok pagi kami ajukan ulang. Mudah-mudahan kali ini disetujui,” katanya.
Masyarakat luas, kata Pahlevi, mendukung agar aset hasil korupsi dikembalikan untuk kepentingan daerah. Oleh karena itu, langkah Kejaksaan Agung harus diperkuat dengan dukungan politik dari DPRD Babel. “DPRD bukan hanya menerbitkan Perda yang tidak efektif, tetapi harus menggaungkan isu ini secara politik melalui Pansus,” tegasnya.
Ia juga menyoroti masih adanya penyelundupan timah meskipun upaya penegakan hukum telah berjalan. “Kita dengar ada penyelundupan dari Belitung. Setelah ditangkap, baru dokumennya lengkap. Ini jelas aneh,” ungkapnya.
Pahlevi turut mempertanyakan bagaimana mungkin ada smelter timah di Bekasi. “6000 ton timah diselundupkan ke Bekasi. Logikanya, bagaimana bisa ada izin pendirian smelter di sana?” kritiknya.
Ia menegaskan bahwa persoalan timah bukan hanya soal ekonomi, tetapi juga lingkungan dan keberlanjutan daerah. “Harus ada perbaikan tata kelola pertimahan. Kita tak bisa membiarkan kekacauan ini terus berlanjut,” pungkasnya.
Diskusi ini juga menghadirkan praktisi hukum Babel, Hangga Okfandany SH, Kepala CSR PT Timah Rizal, dan aktivis lingkungan dari Walhi Babel, Retno Budi, dengan Fahrizal sebagai moderator. (M.Zen/KBO Babel)