TOBOALI, AksaraNewsroom.ID – Salah satu dari sekian petani di wilayah Bangka Selatan, Dul Rasyid, dibayang-bayangi atas kegelisahan beralihnya kawasan ditenggarai resapan air atau hutan rawa pada hulu sungai lantaran kini diduga ‘disulap’ menjadi areal perkebunan sawit di antara Desa Jeriji dan Bikang, yang dikhawatirkan berdampak terhadap suplai air di Bendungan Metukul.
Ternyata di balik euforia gemerlap Bianglala, wahana yang sedang digandrungi di Bangka Selatan, terselip suara kelompok petani yang terpinggirkan serta larut dalam gelisah atas ‘tersandera-nya’ hulu sungai pasca dikuasi perusahaan perkebunan sawit.
“Tahun kemarin itu sudah ada kekhawatiran. Pernah kekeringan, bahkan sampai menggunakan pompa air karena airnya tidak bisa ngalir lagi. Jadi pakai pompa air. Iya, waktu pembukaan lahan,” ujar pria yang telah menginjak usia di angka 50 tahun itu kepada Aksara Newsroom, Jumat (21/2/2025)
- Baca Juga: Ditreskrimsus Polda Babel Benarkan Sedang Selidiki Proyek Dermaga Plengsengan Tanjung Gading
Pria yang telah lama menghabiskan waktunya untuk bertani dan kawan-kawan petani lainnya ternyata telah lama berjuang menyuarakan kegelisahan atas pembukaan lahan dan mempertahankan kawasan hutan rawa itu. Menariknya, siapa orang di balik pemilik perusahaan itu masih menjadi misteri alias tidak diketahui.
Padahal diungkap Dul, kenyataannya bahwa kawasan hutan itu beralih ke hamparan perkebunan sawit sekitar dua tahun terakhir.
“Jadi Kades kita juga kebingungan, karena tidak ada sama sekali izin dan semacamnya, tahu-tahunya lahan itu sudah dibuka,” kata dia.
“Kita tanya-tanya katanya punya perusahaan. Tidak ada yang ngasih tahu itu perusahaan siapa sebenarnya,” ungkap Dul.
Dul tampak tak kuasa meluapkan kekecewaannya. Pasalnya suara mereka tak kunjung diindahkan meski telah berulang mempertanyakan keberadaan hamparan sawit itu disampaikan kepada sejumlah pihak.
“Bahkan masyarakat sampai ada mengajak karena kita sebagai LPM untuk demo. Agar supaya perkebunan sawit itu jangan berlanjut lagi maksudnya. Namun (pertemuan itu) sampai sekarang tidak ada tanggapan dan kepastian,” ujarnya.
- Baca Juga: Perpanjangan HGU Perkebunan Sawit di Belitung Dipertanyakan, Ditenggarai Kangkangi Aturan
Pria itupun menyela dengan kesal, semestinya kawasan hutan rawa atau hulu sungai tersebut tidak biarkan digunduli dan kini dikuasai oleh perusahaan perkebunan sawit.
“Hutan lindung itu perlu dilindungi. Jangan sampai harapan petani itu hulunya di tanam sawit. Kekhawatirannya, itu bahaya untuk pangan kita. Rias sudah disebut kawasan lumbung pangan dari tahun 2007,” ungkap dia.

Aliran sungai ini satu-satunya harapan sumber aliran air yang menyuplai air ke Bendungan Metukul dan Embung Pumpung, yang sejak lama mengaliri area persawahan di Desa Rias.
Jumlah petani di Desa Rias, Kecamatan Toboali, Bangka Selatan, terbagi-bagi dalam 48 kelompok tani. Adapun area persawahan yang masuk produktif alias aktif tercatat ada 3.500 hektar di Rias. Tak lama lagi, kata Dul, akan memasuki masa panen.
“Karena petani Desa Rias hanya mengandalkan bendungan Metukul dan Embung Pumpung. Karena dua inilah harapan warga Desa Rias. Ketika sudah dibuka lahan perkebunan sawit ini ada kekhawatiran air tidak mencukupi lagi,” katanya.
Dirinya mengaku tidak mengetahui apakah adanya peralihan kawasan hutan ke perkebunan, maupun RTRW pada wilayah yang kini ditanami sawit itu. Namun kata dia, sepengetahuannya keberadaannya merupakan hutan rawa.
“Itu kalau setahu saya hutan lindung Pak, karena itu rawa-rawa. Kalau itu (pelepasan kawasan hutan) kami kurang memahami, karena tahu-tahunya sudah ditanami pihak perusahaan itu. Pak Kades pun tidak tahu,” katanya.
Kades Desa Rias, Muslim Divo, belum memberikan keterangan lebih lanjut atas upaya konfirmasi yang dilayangkan kepada dirinya. “Bentar ok,” jawabnya saat dikonfirmasi Aksara Newsroom melalui pesan WhatsApp, Jumat (21/2).
Sementara itu Dinas Pertanian Pangan dan Perikanan (DPPP) Kabupaten Bangka Selatan, sayangnya terkesan tutup mata atas keberadaan hamparan perkebunan sawit di hulu sungai yang kenyataannya disuarakan lama masyarakat petani di Desa Rias.
“Kami hanya melakukan sesuai dengan tupoksi kerja kami,” ujar Risvandik. ujar Plt. Kepala DPPP Bangka Selatan, Risvandik, ditanya soal pengawasan maupun tindakan apa yang mereka lakukan atas keberadaan tanaman sawit yang berlarut di resahkan masyarakat petani di Rias.
“Kalau itu sudah ranahnya kehutanan dan perizinan, Pak. Silahkan hubungi pihak terkait hal tersebut,” ujar dia, Jumat (21/2).
Namun ditegaskannya, DPPP Kabupaten Basel tidak mengeluarkan izin atau rekomendasi atas keberadaan perkebunan sawit yang dikeluhkan patani di Desa Rias itu. “Kami tidak pernah mengeluarkan rekomendasi apapun,” kata Risvandik, seraya menyarankan soal itu karena bukan wewenangnya.
Risvandik lalu menyarankan sekaligus mengiyakan, menanyakan status dan peruntukan kawasan itu apakah hutan produksi atau konservasi ke PU Bangka Selatan. “Untuk status hutan bukan kewenangan kami,” kata dia, seraya meminta dikonfirmasi ke PU Basel.
Namun di media sosial Tiktok Aksara Newsroom, melalui akun @riza_herdavid, diduga akun Bupati Bangka Selatan, Riza Herdavid, malah menandai sebuah akun diduga milik DKPP Basel untuk memastikan persoalan itu.
Kemunculannya itu merespon pertanyaan netizen atas dugaan informasi sekitaran hulu sungai antara Jeriji dan Bikang diduga ditanami sawit hingga bendungan Matukul terancam.
“@RISVANDIKA, DKPP BASEL cek kawan-kawan,” tulis Riza, dikutip Aksara Newsroom, lalu dijawab akun diduga milik Kepala DPPP Basel itu akan turun ke lapangan.
Sementara itu Plh. Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, Edi Kurniadi, belum merespon upaya konfirmasi yang dilakukan Aksara Newsroom.
Ancaman Bendungan Metukul
Kekhawatiran atas munculnya masalah baru diduga tidak bisa dihindarkan oleh masyarakat petani di Rias. Selain ancaman kekeringan bendungan Matkul, area persawahan petani digenangi banjir pada 2024 silam. Penyebabnya diduga rusaknya sistem penyerapan pada hulu sungai yang kini disebut sudah menjadi hamparan perkebunan sawit.
“Karena tidak ada penahanan lagi, sudah dibuka hamparan perkebunan, terutama lahannya sudah di skat (petakan), curah hujan airnya masuk,” kata Dul Rasyid, seorang petani di Desa Rias.
“Yang jelas permasalahannya saat ini kekurangan air dan ketika curah hujan tinggi bisa menyebabkan banjir,” ujar dia.
- Baca Juga: Kondisi Dermaga Tanjung Gading Pongok Memprihatinkan, Padahal Terbilang Baru Dibangun Belasan Miliar
Kekhawatiran limbah seperti pupuk ataupun pestisida, ujar Dul, memang belum dirasakan masyarakat petani untuk saat ini. Alasannya, penggunaan bahan kimia tersebut belum dilakukan mengingat usia sawit terbilang baru ditanami.
Dia tidak menampik kendala mulai muncul setelah adanya pembukaan lahan perkebunan sawit hampir dua tahun belakangan. Memang, dikatakan dia nampak kekurangan air untuk sawah saat ini tidak begitu dirasakan dan terlihat. Namun ancaman nyata kekurangan air itu terasa jika hujan sudah jarang turun.
“Tapi ketika hujan sudah mulai jarang, seminggu sekali itu mulai kekurangan,” katanya.
Ketika ada pembangunan bendungan Matukul, menurutnya, sebenarnya mencukupi walaupun ada kemarau sekitar lima bulan.
“Tapi setelah ada kegiatan penanaman sawit di hulu bendungan atau pesisir termasuk bagian hulunya, itu ada kendala, jadi ada kekurangan air. (Debit) Airnya berkurang, karena apa, karena seharusnya airnya ter suplai ke bendungan kini akhirnya terserap ke area kebun sawit itu,”
Tak seperti biasanya alias dihindari oleh petani di Desa Rias, pasalnya masalah baru mulai muncul. Pada tahun 2024 kemarin, areal sawah petani digenangi banjir. Penyebabnya diduga rusaknya sistem penyerapan air pada hulu sungai yang kini menjadi hamparan perkebunan sawit.
Kekhawatiran limbah seperti pupuk dan pestisida, ujar Dul, memang belum dirasakan masyarakat petani untuk saat ini. Alasannya, penggunaan bahan kimia tersebut belum dilakukan mengingat usia sawit terbilang baru ditanami.
“Yang jelas permasalahannya saat ini kekurangan air dan ketika curah hujan tinggi bisa menyebabkan banjir,” katanya.
“Karena tidak ada penahanan lagi, sudah dibuka hamparan perkebunan, terutama lahannya sudah di skat (blok-blok), curah hujan airnya masuk,” kata dia, mengeluh sistem penyerapan air yang kini rusak.
Dikhawatirkan oleh Dul, ujung kekecewaan atas rusaknya pengairan membuat petani akan terpaksa melepas lahan ikut mengalihkan lahan pertanian ke perkebunan sawit. “Kekhawatirannya, itu bahaya untuk pangan kita. Rias sudah disebut kawasan lumbung pangan dari tahun 2007,” katanya.
Penulis : Hendri J. Kusuma/Dede