PANGKALPINANG, AksaraNewsroom.ID – Sejumlah masa yang mengatasnamakan Peduli Bangka Belitung (PBB) menggelar aksi damai di depan Kantor Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Provinsi Kepulauan Babel, Senin (6/1/2024).
Kedatangan mereka untuk meminta kejelasan dan transparansi dari pihak terkait atas berbagai temuan dan pernyataan yang menimbulkan kontroversi di masyarakat.
Seperti diungkapkan Ketua PBB Nasir dalam aksi ini mengatakan, bahwa sejumlah point disampaikan, terutama yang menjadi sorotan PBB dalam aksi ini, diantaranya nilai kerugian negara yang dipermasalahkan Prof Bambang Hero menyebutkan kerugian negara sebesar Rp271 triliun.
Menurut mereka bahwa Kejaksaan Agung turut mendukung pembuktian angka ini, dan BPKP juga mengkomfirmasi nilai yang sama, lalu dari mana asal nilai Rp217 triliun dalam kerugian tersebut.
“Prof. Dr. Ir. Sudarsono Soedomo, MS, MPPA, Guru Besar IPB yang notabenenya adalah Dosen Bambang Hore, membantah validitas perhitungan Prof. Bambang Hero,” kata Nasir di Pangkalpinang, Senin (6/1/2025).
Dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP) luas tutupan lahan tambang awalnya dinyatakan t63.149 Ha, namun direvisi menjadi 28.379 Ha dalam persidangan, mengapa nilai kerugian tetap sama meski luas lahan berubah?
Mereka juga mempertanyakan mengapa perhitungan hanya mengacu pada satu saksi ahli tanpa membandingkan dengan pernyataan ahli lainnya. Oleh sebab itu, angka Rp271 triliun dinilai menciptakan stigma negatif terhadap perekonomian Babel.
Dalam aksi ini, massa juga mempertanyakan peran dan transparansi PT Timah, yang seharusnya menjadi perpanjangan tangan negara dalam pertambangan timah, kini dinyatakan bukan lagi BUMN oleh saksi Reza Palevi di pengadilan.
“Dalam kasus ini, mitra perdagangan timah oleh swasta menjadi korban PT Timah Tbk, lantas bagaimana komposisi saham, nilai investasi, dan royalti PT Timah untuk daerah? Apakah BPKP pernah mengaudit neraca keuangan PT Timah?,” jelas Nasir.
“Sedangkan laporan tahunan PT Timah selalu menunjukkan profit. Apakah laporan ini mencerminkan kondisi sebenarnya?,” ulasnya.
Massa juga mempertanyakan kebijakan Izin Pertambangan Rakyat (IPR) dan kriminalisasi penambang lokal, rakyat yang menambang di Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) dinyatakan ilegal karena IPR tidak diterbitkan pemerintah, meskipun kebijakan IPR telah ada sejak 2009 lalu.
“Mengapa aktivitas penambangan rakyat yang berada di luar IUP Timah dijadikan tindak pidana korupsi, bukan ilegal mining? Contoh kasus: Ali Samsuri dan pelaku tambang di Belinyu dibebaskan dari tindak pidana korupsi (Tipikor) oleh pengadilan,” sesal Nasir.
Oleh karena itu, PBB menekankan pentingnya transparansi dan akuntabilitas dalam menangani kasus ini. Aksi damai ini bertujuan mendorong pemerintah dan instansi terkait untuk memberikan penjelasan yang jujur dan objektif guna melindungi kepentingan rakyat Bangka Belitung serta menciptakan keadilan dalam pengelolaan sumber daya alam.
“PBB pun berharap aspirasi yang disampaikan melalui aksi damai ini dapat menjadi perhatian serius bagi BPKP, Kejaksaan Agung dan instansi terkait. Pihak kami juga mengajak masyarakat luas untuk terus mengawal kasus ini agar tidak terjadi manipulasi data dan penyalahgunaan kekuasaan yang merugikan rakyat serta perekonomian daerah,” tukas Nasir.
PBB juga menuntut hal-hal berikut:
PBB meminta BPKP menjelaskan secara transparan metode perhitungan nilai kerugian negara sebesar Rp271 triliun, termasuk dasar perhitungan dan data pendukung yang digunakan.
Melibatkan saksi ahli independen untuk memberikan pembanding terhadap pernyataan Prof. Bambang Hero.
- Transparansi Peran PT Timah.
Meminta audit publik terhadap neraca keuangan PT Timah, terutama dalam kaitannya dengan royalti dan kontribusi terhadap daerah.
Meninjau ulang status PT Timah sebagai perpanjangan tangan negara dalam pengelolaan tambang timah di Bangka Belitung.
- Kebijakan yang melindungi penambang rakyat.
Pemerintah diminta segera menerbitkan IPR yang telah diatur sejak tahun 2009 agar penambang rakyat tidak dikriminalisasi.
Mengkaji ulang kasus-kasus penambangan rakyat yang dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi dan memastikan penegakan hukum yang adil.
- Penanganan Kasus Tanpa Stigma Negatif.
Memastikan nilai kerugian negara yang diumumkan tidak berlebihan sehingga tidak menciptakan dampak negatif pada perekonomian Babel.
Memberikan pernyataan resmi mengenai nilai kerugian negara yang murni dari tindak pidana korupsi dalam kasus ini.
Seruan kepada Pemerintah dan Lembaga Penegak Hukum:
PBB menyerukan kepada pemerintah, lembaga penegak hukum, dan pihak terkait lainnya untuk menjalankan tugas dengan transparansi, profesionalisme, dan keadilan. Kasus ini tidak hanya menyangkut persoalan hukum tetapi juga masa depan masyarakat dan keberlanjutan ekonomi daerah.
“Kami percaya bahwa sinergi antara rakyat, pemerintah, dan lembaga hukum dapat membawa keadilan dan kejelasan atas permasalahan ini,” terang Nasir.
“PBB berkomitmen untuk terus mengawal isu ini hingga tuntas demi kebaikan bersama,” pungkasnya. (*)