JAKARTA, AksaraNewsroom.ID – Bupati Bangka Tengah Algafry Rahman kembali mempertanyakan kejelasan soal tindak lanjut pemanfaatan lahan eks PT Koba Tin yang diajukan sebagai Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) ke pemerintah pusat. Klaim tidak adanya kepastian itu disampaikan kepada Komisi VII DPR RI, Selasa (26/3/2024).
Algafry sebelumnya menanggapi kondisi yang sama atau terjadi di wilayah Beltim terkait dokumen pengolahan hingga kepastian Izin Pertambangan Rakyat (IPR) juga terjadi di Bangka Tengah.
Namun menyoal IPR, ia juga mempertanyakan soal tidak adanya tindak lanjut pasca pengajuan WPR untuk pengelolaan eks lahan PT Koba Tin yang diakuinya telah lama disampaikan ke Dirjen ESDM.
- Baca Juga: Soal Kepastian Izin Pertambangan Rakyat, Pj Gubernur Babel Sampaikan Unek-uneknya ke Dirjen ESDM
Dijelaskan Algafry, Pemkab Bangka Tengah sebelumnya sudah menyampaikan secara menyeluruh tentang kajian untuk potensi yang ada pada lahan eks PT Koba Tin. Estimasi timah di lahan itu dinilai memiliki potensi cukup besar.
Sebagaimana diketahui, lanjut dia, IUP PT Koba Tin sebelumnya telah lama dicabut oleh pemerintah pusat pada 2013, yang dinilai eks lahan yang ditinggalkan itu masih menyimpan kandungan timah. Di satu sisi, masyarakat diklaim sejak lama ingin memanfaatkan eks lahan tersebut dengan dikelola secara legal melalui WPR.
“Sedikit banyak itu masih menjadi idola masyarakat. Harapan-harapan masyarakat saya tentang kondisi di lapangan masih bisa untuk menjadi mata pencairan masyarakat di Bangka Tengah,” ujarnya.
Namun diungkapkan Bupati Bangka Tengah itu, eks lahan PT Koba Tin yang kurang lebih mencapai 44 ribu hektare tersebut seperti tak ada pemiliknya.
“Itu sampai hari ini kondisinya itu seperti tak bertuan,” katanya.
Ia kembali melanjutkan, Pemkab Bangka Tengah yang sebelumnya melalui Pj Gubernur Babel Ridwan Djalaludin yang juga merupakan Dirjen Minerba telah menyampaikan potensi yang ada di lahan bekas PT Koba Tin tersebut.
“WPR kami ajukan itu kurang lebih 6.545,11 hektare yang kami ajukan kepada Pj Gubernur pada saat itu di tahun 2023. Dengan potensi beragam, antara lain timah, pasir kuarsa, granit, tanah uruk dan tanah liat. Semua itu sebelumnya sudah kami lakukan pengkajian bahwa itu berpotensi untuk kita lakukan,” ujarnya di RDP itu.
Meski telah lama disampaikan, kata Algafry, namun tidak ada balasan yang diperoleh pihaknya.” Awalnya saya mengajukan 7.100,75 hektare, tetapi saya masih disambut surat oleh Dirjen Minerba bahwa diminta untuk merevisi. Terakhir surat revisi yang saya ajukan 10 Januari 2023, dengan potensi-potensinya. Namun sampai hari ini kita tidak dapat jawaban,” ujarnya.
Untuk itu yang dihadapan Komisi VI DPR RI, Algafry menyampaikan bahwa pemerintah daerah setempat membutuhkan bagaimana mengatur regulasi agar masyarakat dapat masyarakat dapat memanfaatkan potensi yang ada untuk kesejahteraan masyarakat.
Persoalan lainnya soal penyelundupan pasir timah beberapa waktu lalu, kata dia, sebab untuk izin ekspor tidak bisa sejauh ini. Di sisi lainnya, masyarakat membutuhkan penghidupan dan mata pencaharian masih bergantung dengan timah.
“Kondisi masyarakat kami perlu diberikan regulasi yang jelas tentang tata kelola timah ini. Mohon kiranya kita disini untuk bersama-sama mencari jalan terbaik untuk masyarakat,” kata Algafry.
Pj Gubernur Bangka Belitung (Babel) Safrizal ZA juga tampak menyampaikan unek-uneknya secara langsung kepada Dirjen ESDM dan Komisi VII DPR RI. Upaya itu dalam memperjuangkan ruang pertambangan yang legal bagi rakyat Babel ke pemerintah pusat.
Safrizal menekankan diperlukan regulasi yang kuat atas penyerapan hasil produksi pertambangan rakyat ini.
“Di antaranya adalah dokumen lingkungan siapa yang harus menyusun, siapa yang harus mengawasi, bagaimana dengan jaminan reklamasi. Jadi ada beberapa poin yang harus kita sepakati bersama, sehingga bisa didaftarkan di OSS,” ungkap Pj Gubernur Safrizal di Gedung Nusantara DPR RI.
Safrizal mengungkapkan bahwa saat ini perekonomian Babel menurun karena tersendatnya kegiatan pertambangan rakyat, antara lain disebabkan akibat penyerapan produksi timah yang minim. Ia menilai bahwa pertambangan rakyat diperlukan di wilayah tersebut untuk bisa membantu rakyat dengan modal terbatas bisa mendongkrak perekonomian di Babel.
Meskipun di sisi lain, ia juga menjelaskan bahwa di Babel terdapat 167 ribu hektar lahan kritis akibat aktivitas pertambangan ilegal dan itu diperlukan upaya ekstra khususnya pada aturan yang ketat terkait jaminan reklamasi.
“Harapan kami masyarakat Babel, pertambangan timah yang melibatkan rakyat agar bisa dimulai kembali agar rakyat hidup kembali terutama yang bekerja di sektor pertambangan, namun tetap diperlukan pengaturan yang kuat atas penyerapan hasil produksi pertambangan rakyat ini,” jelasnya.
Hal senada juga diutarakan Anggota Komisi VII DPR RI Bambang Pati Jaya, ia mengungkapkan bahwa perekonomian Babel saat ini sedang terpuruk lantaran izin operasi komoditas timah, yang merupakan penyumbang Produk Domestik Bruto (PDB) terbesar di Babel sempat terhenti akibat belum disetujuinya Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) timah. (*)
Penulis : Hendri J. Kusuma/dd