Oleh : Atha Said Fajri | Kader HMI Cabang Babel Raya
Perguruan tinggi merupakan institusi pendidikan tinggi yang bertujuan untuk menyelenggarakan pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Sebagai pusat pengembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni, perguruan tinggi memiliki peran penting dalam mencetak sumber daya manusia yang berkualitas, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta memberikan solusi terhadap berbagai tantangan sosial, ekonomi, dan lingkungan.
Namun, akhir-akhir ini, Badan Legislasi DPR RI (Baleg DPR) berencana merevisi Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (Minerba). Revisi ini dimaksudkan untuk memberikan ruang kepada perguruan tinggi agar dapat mengelola tambang.
Kebijakan ini memicu kontroversi, terutama karena dinilai bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, yang dengan jelas menyebutkan bahwa perguruan tinggi memiliki tiga tugas utama, yaitu pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat (Tri Dharma Perguruan Tinggi).
- Baca Juga: Ingin Berkreativitas Malah Diberantas
Di lansir dari beberapa berita yang beredar,Ketua Badan Legislatif (Baleg) DPR RI menyampaikan bahwa salah satu hal yang melatarbelakangi agar tambang bisa dikelola oleh Perguruan tinggi ialah untuk meningkatkan kualitas pendidikan.Padahal Tata kelola Pertambangan, sampai dengan hari ini pun belum mampu untuk diselesaikan dengan baik.Kebijakan seperti ini tentunya dinilai bukanlah solusi yang baik akan tetapi bisa memunculkan konflik baru untuk pendidikan tinggi di kemudian hari.
Lebih parahnya lagi, proses pemberian izin ke Perguruan tinggi untuk mengelola tambang bukan diperuntukkan untuk meningkatkan kualitas pendidikan tinggi, akan tetapi bagian dari pemerintah untuk bisa melakukan pengkondisian terhadap Perguruan tinggi yang ada.
Dengan demikian, seharusnya perencanaan pendidikan tinggi ataupun mahasiswa sebagai mitra kritis pemerintah, kini di jadikan mitra bisnis oleh pemerintah.
Prinsip dasar dunia tambang adalah aktivitas yang bersifat eksploitatif dan berorientasi pada keuntungan ekonomi. Hal ini sangat bertolak belakang dengan nilai-nilai akademik yang menekankan keberlanjutan, kesejahteraan masyarakat, dan kepedulian terhadap lingkungan.
Idealnya, perguruan tinggi berperan sebagai pengawas dan pemberi masukan berbasis riset terhadap praktik tambang, bukan sebagai pelaksana langsung yang terlibat dalam eksploitasi sumber daya alam.
Lebih jauh lagi, aktivitas tambang sering kali berisiko menimbulkan konflik sosial. Aktivitas tambang dapat memicu ketegangan di tengah masyarakat, terutama ketika masyarakat merasa dirugikan oleh dampak negatif yang di hasilkan oleh tambang.
Jika perguruan tinggi ikut terlibat dalam pengelolaan tambang, mereka berisiko kehilangan kepercayaan dari masyarakat dan dianggap lebih mementingkan keuntungan ekonomi daripada kesejahteraan masyarakat sekitar.
Selain itu, keterlibatan perguruan tinggi dalam pengelolaan tambang berpotensi menggeser orientasi mereka dari pendidikan dan penelitian ke arah aktivitas bisnis.
Pergeseran ini dapat merusak fungsi utama perguruan tinggi sebagai tempat pembelajaran dan pengembangan ilmu pengetahuan. Ketika fokus berubah menjadi aktivitas komersial, kualitas pendidikan dan riset yang dihasilkan pun dapat menurun. Keterlibatan ini juga membuka peluang munculnya konflik kepentingan yang dapat merusak integritas institusi akademik.
Tentunya kebijakan ini dapat merusak reputasi perguruan tinggi sebagai institusi yang netral dan independen. Dengan masuk ke sektor tambang, perguruan tinggi dapat dianggap memiliki bias tertentu, baik dalam penelitian maupun dalam kebijakan yang mereka usulkan. Ketidakmampuan untuk mempertahankan independensi ini dapat mengurangi kepercayaan publik terhadap perguruan tinggi sebagai lembaga akademik yang memprioritaskan kepentingan masyarakat.
Lebih dari itu, Kebijakan ini juga dikhawatirkan akan menghambat inovasi dan kreativitas di sektor pendidikan tinggi. Ketika perguruan tinggi terlalu fokus pada pengelolaan tambang, perhatian terhadap pengembangan riset strategis yang lebih relevan dengan kebutuhan masyarakat dapat terabaikan. Padahal, sebagai pusat pengembangan ilmu pengetahuan, perguruan tinggi seharusnya memprioritaskan inovasi di bidang teknologi berkelanjutan, energi terbarukan, atau solusi sosial yang lebih berorientasi pada masa depan bangsa.
Pemerintah seharusnya mengevaluasi kebijakan ini dengan hati-hati. Alih-alih memberikan izin kepada perguruan tinggi untuk mengelola tambang, pemerintah dapat memanfaatkan mereka sebagai lembaga yang memberikan rekomendasi berbasis riset untuk meningkatkan tata kelola tambang. Langkah ini lebih sejalan dengan peran perguruan tinggi sebagai penjaga nilai keberlanjutan dan agen perubahan sosial.
Pemerintah juga dapat melibatkan perguruan tinggi dalam pengembangan teknologi tambang yang ramah lingkungan. Dengan demikian, perguruan tinggi dapat tetap memberikan kontribusi positif tanpa harus terjun langsung ke dalam aktivitas eksploitasi. Langkah ini memungkinkan perguruan tinggi untuk memaksimalkan peran penelitian dan inovasi tanpa melanggar prinsip-prinsip Tri Dharma Perguruan Tinggi. (*)