PANGKALPINANG, AKSARANEWSROOM.ID – Banjir kerap menjadi persoalan pelik di Kota Pangkalpinang yang hampir terjadi setiap tahunnya. Namun, jika ditelusuri lebih jauh, ibukota Provinsi Bangka Belitung ini pernah dilanda banjir besar sekitar 35 tahun yang lalu.
Di tahun 1986 silam, banjir besar atau dengan katagori parah sempat melanda sejumlah pemukiman warga di Pangkalpinang. Luasan banjir kala itu hampir sama dengan peristiwa banjir pada tahun 2016.
Potret banjir saat itupun didokumentasikan di Perpustakaan Kota Pangkalpinang. Dalam sebuah jepretan foto lawas itu, tampak pemukiman warga dan sejumlah ruas jalan digenangi banjir.


Budayawan dan Sejarawan Bangka Belitung, Drs Akhmad Elvian menyebutkan, banjir besar pada tahun 1986 terjadi di Kota Pangkalpinang pada masa periode kedua pemerintahan H. Mohammad Arub, sebagai Walikotamadya Pangkalpinang.
“Banjir terjadi karena curah hujan yang sangat tinggi disertai dengan pasang naik air laut serta robohnya tanggul di pintu air,” kata Sejarawan dan Budayawan Penerima Anugerah Kebudayaan itu kepada Aksara Newsroom, Minggu (6/3).
Pada pada tanggal 9 Februari 2016, Akhmad Elvian berujar, terjadi lagi banjir besar di Kota Pangkalpinang. Banjir ini terjadi dalam rentang setelah 30 tahun dari banjir pada Minggu kedua bulan Januari 1986.
Penyebabnya pun hampir sama, menurut dia, dikarenakan pasangnya air laut disertai dengan curah hujan yang cukup tinggi.
Banjir atau genangan air kemudian merupakan masalah klasik di Kota Pangkalpinang yang disebabkan karena wilayah Kota Pangkalpinang dari segi morfologisnya berbentuk cekung dengan pusat kota lebih rendah.
Adapun daerah yang terkena banjir hampir meliputi sepertiga Kota Pangkalpinang, meliputi cekungan antara Lapangan Merdeka ke tanjakan simpang empat jalan Masjid Jamik beserta kawasan timur dan baratnya.
Titik banjir lainnya yaitu di Kelurahan Bintang, DAS (Daerah Aliran Sungai) Linggarjati, kiri kanan Lembawai, Trem Seberang, sebagian Pasir Putih dan Parit Lalang, wilayah-wilayah di atas berada di Kecamatan Rangkui, Pangkalbalam dan Tamansari.
Daerah-daerah tersebut mengalami limpahan air bah ditaksir antara 6-7 juta meter kubik. Ia menyebut bahwa air yang datang ke Kota Pangkalpinang dari hulu di Gunung Mangkol melalui sungai Pedindang tertahan oleh air laut sehingga tidak bisa keluar.
“Karena itu daerah rendah tergenang oleh air. Banjir akan usai jika air laut tidak pasang dan hujan tidak turun, kalau hujan turun dan air pasang tetap akan terjadi banjir,” ungkapnya.
“Banjir pada tanggal 9 Februari 2016 lebih parah lagi karena titik titik kawasan banjirnya semakin meluas dan hampir meliputi seluruh kecamatan di Kota Pangkalpinang,” jelas dia.
Untuk mengatasi masalah banjir di Kota Pangkalpinang, Elvian menyebut saat ini dibuatlah kebijakan revitalisasi dan program pengembangan kawasan Pangkalpinang Timur. Selanjutnya leluhur terdahulu, katanya, mengajarkan untuk merawat dan meruwat sungai dan hutan terutama yang ada di dalam wilayah wilayah yang hutannya dilarang untuk dieksploitasi seperti hutan yang terdapat di Pegunungan Mangkol.
“Sungai di Pangkalpinang seperti sungai Rangkui dan sungai Pedindang beserta anak anak sungainya seperti Aik Koejoed, Aik Ati, Aik Tiung, Aik Pejangkar juga harus dirawat serta dijaga kelestariannya,” imbuhnya.
Ia berkata begitu juga dengan keberadaan kolong-kolong bekas penambangan timah harus dijaga dan tidak ditimbun sebagai wilayah resapan air, termasuklah kolong Retensi Kacang Pedang harus terus dirawat.
“Agar penampang basahnya untuk menampung air relatif besar karena dibangun dengan fungsi untuk pengendali banjir dan air genangan,” ujarnya.
Rusaknya Infrastruktur Pemerintahan Hindia Belanda Akibat Cuaca Buruk
Berdasarkan data dari memorie van overgave (mvo) residen Bangka, diketahui bahwa curah hujan tertinggi di Bangka terjadi pada bulan Desember dan Januari. Akibat curah hujan tersebut banyak infrastruktur yang dibangun Pemerintah Hindia Belanda menjadi rusak.
“Untuk memperbaiki banyaknya jembatan dan jalan yang rusak karena tingginya curah hujan dan kuatnya arus air pada puncaknya di bulan bulan tersebut penduduk pribumi Bangka dikerahkan dengan kerja paksa tanpa digaji (herendients atau corvee) dan hanya diberikan sedikit beras dan garam,” tulis Akhmad Elvian.
Pada tahun 1921, kewajiban ini hanya diwajibkan pada hal praktis seperti pada saat bencana alam. Di Pulau Bangka setelah kewajiban ini dihapuskan, lanjut Elvian, yakni diganti dengan pajak kepala bagi laki laki dewasa sebesar tiga gulden setahun.
Di sisi lain, lanjut Elvian, curah hujan yang begitu tinggi yang terjadi di bulan Desember dan Januari juga menyebabkan kesulitan bagi Depati Amir dan pengikutnya dan juga kesulitan bagi pasukan Belanda dalam pertempuran.
“Depati Amir dikepung dan ditangkap pada tanggal 7 Januari 1851 dalam suasana sakit dan kelelahan serta kekurangan sandang dan pangan dalam cuaca dan curah hujan yang tinggi pada bulan Desember dan Januari,” tulis dia.
Salah satu bentuk mitigasi bencana yang dilakukan oleh pemerintah Belanda untuk mengatasi banjir akibat curah hujan yang tinggi di Pulau Bangka adalah seperti tertuang dalam laporan Dr. F.Epp yang pernah berkunjung ke Pulau Bangka pada pertengahan abad 19 Masehi.
Pada Tahun 1836 Masehi, F. Epp, seorang medicine, warga Jerman berkunjung ke distrik Pangkalpinang dan dalam bukunya Schilderungen Aus Ostindiens Archipel mengatakan, bahwa Pangkalpinang sebagai kota yang kaya akan air dan kota hanya sehat pada saat musim kemarau.
“Sungai Rangkui memiliki banyak kelokan (meander) sekitar 21 kelokan, serta banyak buayanya,” ungkap dia.
Untuk merawat Sungai Rangkui, Pemerintah Belanda menugaskan sekitar 20 orang yang bekerja secara rutin.
“Akibat kurang dirawatnya sungai dan curah hujan yang tinggi disertai dengan pasang besar air laut, Kota Pangkalpinang pernah mengalami banjir besar pada Minggu Kedua Bulan Januari 1986 dan pada tanggal 9 Februari 2016,” jelas Akhmad Elvian.
Peran penting kawasan Pegunungan Mangkol
Pegunungan Mangkol sangat memiliki peran penting sebagai sumber air baku dan penyangga bagi Kota Pangkalpinang, terutama dari ancaman banjir dan air genangan dan Gunung Mangkol sebagai paru-paru Kota Pangkalpinang.
Dikatakan oleh Elvian, karena keragaman hayatinya mampu menyerap karbondioksida dan mengeluarkan oksigen yang dibutuhkan semua organisme.
Di samping itu, kawasan Gunung Mangkol merupakan benteng terakhir bagi pelestarian hewan-hewan langka endemik Pulau Bangka yang berada dekat dengan Kota Pangkalpinang.
“Seperti Kera, Beruk, Tarsius atau Mentilin, Kukang dan beberapa jenis burung), oleh sebab itu kelestarian kawasan hutan di gunung Menumbing dan Gunung Mangkoel dan keragaman hayatinya harus tetap dijaga dan dipelihara dengan baik sebagai salahsatu upaya untuk mitigasi bencana alam seperti banjir dan tanah longsor,” ujarnya.
Penulis : Hendri J. Kusuma/DD