Oleh : Siti Purwanti
Eksploitasi yang berlebihan dan kebijakan pemerintah yang memberikan izin penambangan timah dilakukan swakelola oleh masyarakat menyebabkan proses desertifikasi (penggurunan) yaitu berubahnya lahan menjadi tanah tandus seperti lahan gurun.
Sitorus et al, (2008) menyatakan luas lahan bekas timah tersebut terdiri dari 65% lahan tandus dan 35% berbentuk telaga.
Kegiatan operasi tambang berdampak secara nyata terhadap lingkungan hidup, seperti menurunnya kualitas ekosistem secara drastis serta perubahan pada sifat fisik dan kimia tanah (Sujitno, 2007).
Dampak tersebut disebabkan adanya limbah tailing dari penambangan timah yang memiliki kandungan logam berat yang tinggi terutama Sn. Tanah bekas galian timah juga memiliki pH yang rendah (asam) akibat konsentrasi Al dan Fe yang tinggi, unsur hara P dan N serta kandungan bahan organik yang rendah (Hasnelly et al., 2006).
Buangan limbah juga mencemari sungai dan terakumulasi pada vegetasi yang rendah serta menghentikan suplai oksigen pada akar tanaman.
Kondisi ini menyebabkan lahan tidak dapat digunakan sebagai lahan pertanian dan kehidupan hewan. Perlu ada upaya rehabilitasi agar lahan-lahan tersebut dapat produktif dan dapat mengurai kerusakan lingkungan lainnya. Kegiatan operasi tambang berdampak secara nyata terhadap lingkungan hidup (Fadilah et al., 2020)
Dalam kaitannya dengan rehabilitasi, rehabilitasi merupakan suatu general term untuk suatu kegiatan revegetasi yang tidak mempunyai tujuan spesifik, yang terdiri dari restorasi dan revegetasi. Restorasi didefinisikan sebagai upaya memperbaiki atau memulihkan kondisi lahan yang rusak dengan membentuk struktur dan fungsinya sesuai (mendekati) dengan kondisi awal.
The Society for Ecological Restoration International menawarkan definisi sebagai berikut:“Restorasi ekologi adalah proses untuk membantu pemulihan suatu ekosistem yang telah menurun, rusak, atau hancur.” Kutipan tersebut menegaskan bahwa intervensi restorasi diciptakan untuk membantu proses-proses pemulihan alami.
Apabila proses pemulihan alami tersebut tidak berjalan, bentuk pengelolaan lain dibutuhkan sebelum intervensi restorasi berpeluang sukses. “Bantuan” kita dalam pemulihan alami dapat berupa bentuk pasif atau secara tidak langsung, atau dalam bentuk aktif atau intervensi langsung.
Adapun yang pertama umumnya melibatkan perbaikan pengelolaan aktivitas antropogenik yang menghalangi proses pemulihan alami; sementara yang terakhir biasanya melibatkan restorasi fisik aktif dan/atau intervensi restorasi biologis, contohnya transplantasi karang dan biota lainnya ke daerah yang terdegradasi.
Ekologi restorasi bertujuan untuk: (1). Merestorasi situs terlokalisasi yang terganggu atau rusak seperti bekas areal tambang. (2). Untuk meningkatkan kemampuan produktivitas di lahan produksi yang terdegradasi. (3). Memperkaya nilai-nilai konservasi alam di areal lanskap yang dilindungi. (4). Merestorasi proses-proses ekologis di dalam suatu lanskap yang luas. Restorasi ekologi menaungi berbagai dimensi dari upaya restorasi yang lebih luas tidak hanya mencakup ekologi restorasi, tetapi juga dari sisi kajian sosial, kebijakan dan ekonomi untuk mencapai tujuannya.
Kegiatan reklamasi terdiri dari dua kegiatan yaitu : (1). Pemulihan lahan bekas tambang untuk memperbaiki lahan yang terganggu ekologinya, dan (2). Mempersiapkan lahan bekas tambang yang sudah diperbaiki ekologinya untuk pemanfaatannya selanjutnya. Untuk melakukan reklamasi lahan bekas tambang diperlukan perencanaan yang baik agar dalam pelaksanaannya dapat tercapai sasaran sesuai yang dikehendaki.
Hal-hal yang harus diperhatikan didalam perencanaan reklamasi adalah sebagai berikut :
1). Mempersiapkan rencana reklamasi sebelum pelaksanaan penambangan; 2) Luas areal yang direklamasikan sama den- gan luas areal penambangan; 3) Memindahkan dan menempatkan tanah pucuk pada tempat tertentu dan mengatur sedemikian rupa untuk keperluan revegetasi; 4) Mengembalikan/memperbaiki pola drainase alam yang rusak;
5). Menghilangkan/memperkecil kandungan (kadar) bahan beracun sampai tingkat yang aman sebelum dapat dibuang ke suatu tem- pat pembuangan; 6) Mengembalikan lahan seperti keadaan semula dan/atau sesuai dengan tujuan penggunaannya; 7) Memperkecil erosi selama dan setelah proses reklamasi; 8) Memindahkan semua peralatan yang tidak digunakan lagi dalam aktifitas penambangan
9). Permukaan yang padat harus digemburkan namun bila tidak memungkinkan agar ditanami dengan tanaman pionir yang akarnya mampu menembus tanah yang keras;
10). Setelah penambangan maka pada lahan bekas tambang yang diperuntukkan bagi revegetasi, segera dilakukan penanaman kembali dengan jenis tanaman yang sesuai dengan rencana rehabilitasi dari Departemen Kehutanan dan RKL yang dibuat; 11) Mencegah masuknya hama dan gulma yang berbahaya.
12). Memantau dan mengelola areal reklamasi sesuai dengan kondisi yang diharapkan.
Pelaksanaan reklamasi meliputi kegiatan sebagai berikut : Persiapan lahan yang berupa pengamanan lahan bekas tambang, pengaturan bentuk lahan (landscaping), pengaturan/ penempatan bahan tambang kadar rendah (lowgrade) yang belum dimanfaatkan; Pengendalian erosi dan sidementasi; Pengelolaan tanah pucuk (top soil); dan Revegetasi (penanaman kembali) dan/atau pemanfaatan lahan bekas tambang untuk tujuan lainnya.
Selain restorasi, salah satu kegiatan rehabilitasi adalah revegetasi. Revegetasi merup[akan usaha atau kegiatan penanaman kembali lahan bekas tambang.Tujuan dari revegetasi akan mencakup re-establishment komunitas tumbuhan seeara berkekelanjutan untuk menahan erosi dan aliran permukaan, perbaikan biodiversitas dan pemulihan estetika lanskap. Pemulihan lanskap cara langsung menguntungkan bagi lingkungan melalui perbaikan habitat hewan, biodiversitas, produktivitas tanah dan kualitas air.
Keberhasilan revegetasi bergantung pada beberapa hal seperti : Persiapan penanaman, pemeliharaan tanaman serta pemantauan tanaman. Hal-hal yang harus diperhatikan dalam persiapan penanaman antara lain kegiatan pemupukan; pemilihan jenis tumbuhan; pengumpulan dan ekstraksi biji; penyimpanan biji dan persiapan pembenihan.
Pemilihan spesies tanaman untuk revegetasi merupakan tahap yang paling penting dalam upaya merestorasi lahan tambang. Pemilihan jenis tanaman yang akan ditanam didasarkan pada adaptabilitas, cepat tumbuh, teknik silvikultur diketahui, ketersediaan bahan tanaman, serta dapat bersimbiosis dengan mikroba. Tanaman yang dipilih berupa spesies yang cepat tumbuh, resisten terhadap kekeringan, dan mampu tumbuh pada tanah yang miskin unsur hara.
Ditinjau dari aspek konservasi lahan, revegetasi dengan menggunakan jenis MPTS (Multipurpose tree species) yang telah dilakukan berhasil menghijaukan kembali lahan-lahan bekas tambang serta mampu mencegah erosi. Secara ekologi, penghutanan kembali lahan bekas tambang dengan MPTS (Multipurpose tree species) kurang menunjukkan keragaman spesies, cenderung homogen.
Metode revegetasi ke depan perlu mengembangkan spesies-spesies lain untuk revegetasi selain spesies yang sudah ada. Idealnya, spesies revegetasi yang digunakan adalah spesies yang memenuhi persyaratan sebagai tanaman reklamasi, secara teknis dapat dilaksanakan dengan mudah dan murah dan secara ekonomis, menghasilkan produk yang bermanfaat (kayu dan non kayu). Jenis-jenis tanaman perkebunan (misalnya karet dan kelapa sawit), tanaman buah (misalnya mangga, jeruk, jambu air), tanaman kehutanan spesifik Bangka perlu dikembangkan sebagai alternatif. Di lahan rekalamasi PT. Koba Tin, beberapa tanaman tersebut berhasil tumbuh dan berproduksi.
Rehabilitasi tanah terdegradasi seperti lahan pasca tambang timah dapat dilakukan dengan pemberian amelioran.
Amelioran merupakan bahan pembenah tanah yang fungsinya untuk mengkondisikan lingkungan akar yang baik bagi pertumbuhan tanaman dan untuk meningkatkan kesuburan tanah. Beberapa ameliorant yang dapat dimanfaatkan untuk pengelolaan lahan pasca tambang adalah kotoran sapi, tandan kosong kelapa sawit, abu janjang kelapa sawit, solid limbah pengolahan sawit, mikoriza dan pupuk anorganik (NPK).
Bahan organik amelioran bisa berupa pupuk kandang, jerami padi, dan solid yang mempunyai fungsi masing – masing. mempunyai fungsi sendiri. Amelioran bahan organik merupakan salah satu upaya yang dapat ditempuh yang cukup mura dan dapat dilakukan di tingkat usaha tani. Rehabilitasi tanah terdegradasi merupakan upaya untuk memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologi tanah, yaitu kondisi tanah semula sebelum terjadi proses degradasi.
Rehabilitas juga berdampak meningkatkan produktivitas tanah terdegradasi sehingga mampu mendukung sistem usaha tani. Tujuan dalam merehabilitasi lahan kritis pasca tambang pada prinsipnya harus bersifat produktif, yakni mengarah pada peningkatan kesuburan tanah (soil fertility) yang lebih produktif, sehingga bisa diusahakan tanaman yang tidak saja menghasilkan kayu, tetapi juga dapat menghasilkan produk non kayu (rotan, getah, obat-obatan, buah-buahan, dan lain-lain) yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat sekitarnya.
Rehabilitasi pada tanah terdegradasi yang dicirikan dengan penurunan sifat kimia dan biologi tanah umumnya tidak terlepas dari penurunan kandungan bahan organik tanah, sehingga amelioran yang umum digunakan berupa bahan organik sebagai agen resiliensi.
Jenis bahan organik yang dapat digunakan sebagai bahan rehabilitasi adalah berasal dari limbah, terutama limbah industri kelapa sawit. Hasil penelitian Marwantinah et al. (2003) membuktikan kompos tandan buah kosong kelapa sawit mampu menurunkan Cd terlarut dalam tanah lebih dari 87 %. Hal ini cukup memberikan pencerahan bagi upaya rehabilitasi lahan-lahan kritis dari bahan pencemar seperti logam berat.
Beberapa penelitian yang sudah dilakukan oleh akademisi seperti Universitas Bangka Belitung dalam pemanfaatan lahan pasca tambang untuk kegiatan pengembangan pertanian antaralain dengan pengembangan konsep LEISA (Loe exrternal input sustainable agriculture) dengan pengembangan beberapa komoditas seperti tanaman padi, jagung, kedelai, ubi kayu, nanas, dan komoditas sayuran daun. Sedangkan pengembangan dibidang perikanan antaralain budidaya ikan lele. Untuk pengembangan peternakan yaitu dengan ternak, sapi, itik dan lainnya.
Sistem LEISA (Loe exrternal input sustainable agriculture) dalam mengatasi lahan kritis atau terbengkalai dalam penerapannya sangat membantu kegiatan pengembangan pertanian yang berkelanjutan yang bermanfaat bagi pemanfaatan lahan dan dapat memnuhi kebutuhan pangan yang semakin komplek. Penerapan LEISA memberikan gambaran bagaimana memanfaatkan lahan kritis atau terbengkalai dimungkinkan dengan menggunakan input yang rendah sehingga dapat menekan biaya produksi dalam budidaya tanaman yang dilakukan. Input produksi yang rendah dikarenakan dalam sistem LEISA menerapkan penggunaan limbah organik yang dimanfaatkan sebagai pupuk baik dari limbah pertanian, peternakan maupun perikanan. LEISA juga bersifat ramah lingkungan dengan mengurangi input bahan kimia, baik pupuk maupun pestisidanya sehingga mendukung pertanian yang berkelanjutan.
Penerapan LEISA dapat meningkatkan pendapatan masyarakat baik jangka pendek maupun jangka panjang dengan sistem pertanian terpadu baik komoditas pertanian, peternakan maupun perikanan.
Beberapa sitem pemanfaatan lahan pasca tambang timah yang sudah dilakukan secara terpadu/terintegrasi di Bangka Belitung antara lain: Bemban Terpadu di Bangka Tengah, merupakan pemanfaatan lahan pasca tambang timah PT. Koba Tin yang menggunakan konsep pertanian dan industry; Danau Pading dan Kulong Biru Bangka Tengah yang menggunakan konsep pariwisata; dan Kampung Reklamasi Air Jangkang PT. Timah di Kabupaten Bangka yang menggunakan konsep pertanian dan pariwisata (agrowisata).
Masih banyak potensi-potensi pemanfaatan lahan pasca tambang timah di Bangka Belitung yang bisa tiru dan dimodifikasi seperti konsep Wanatani (agroforestry) di Kalimantan Timur yang merupakan bentuk pengelolaan, femanfaatan dan optimalisasi sumber daya lahan dan biologis dengan mengkombinasikan kegiatan kehutanan (tanaman kayu-kayuan) dan pertanian yaitu budidaya tanaman pangan maupun hortikultura.
Pengembangan pertanian secara terpadu pada lahan pasca tambang timah dapat dilakukan antara pertanian, peternakan, perikanan dan kehutanan serta sektor lainnya seperti pariwisata dalam satu ekositem. Hal tersebut sangat mendukung percepatan pengembangan pemanfaatan lahan pasca tambang. Hal ini tidak lepas dari dukungan semua steakholder baik pemerintah (kebijakan), BUMN/swasta, masyarakat (sosial), akademisi, dan seterusnya. Dengan tetap mempertimbangkan aspek-aspek sosial, ekonomi dan ekologi.***