Oleh : Bangun Jaya, S.H
Wakil Ketua DPRD Kota Pangkalpinang
Bagi sebuah kerajaan, Raja merupakan simbol kepemimpinan terhadap penyelenggaraan pemerintahan untuk mensejahterakan rakyat kerajaan. Raja memiliki wewenang yang sangat kuat untuk menetapkan tujuan dan menentukan keputusan.
Wewenang seorang raja dalam sebuah kerajaan tentu sangat menggiurkan bagi banyak orang terutama didalam pemerintahan kerajaan.
Seharusnya seorang raja yang arif dan bijaksana diberikan dukungan yang besar oleh para pembantunya terutama senopati atau hulubalang. Seperti Prabu Siliwangi bagi kerajaan Padjajaran, raja yang sangat dicintai oleh rakyatnya.
Meski demikian, Prabu Siliwangi tetap tak lekang dari syahwat kekuasaan dari senopatinya yakni Patih Jaya Antea atau dalam film kita kenal sebagai senopati Argadana. Senopati yang seharusnya menjaga raja dan mendukung pembangunan serta kesejahteraan masyarakat, namun melakukan upaya-upaya untuk mendongkel tahta sang raja.
Patih Jaya Antea kerap melakukan pemberontakan secara diam-diam untuk melengserkan Prabu Siliwangi. Seperti menjalin hubungan dengan musuh-musuh kerajaan hingga menggalang kekuatan dari dalam kerajaan. Gerakan dari upaya kudeta tersebut dilakukan dengan cara menjebak, menghasut bahkan mengancam para pembantu raja untuk memiliki pandangan yang sama terhadap dirinya.
Jika kita analogikan di era saat ini, upaya pendongkelan dapat diumpamakan sebagai penghimpunan mosi tidak percaya. Dewasa ini, mosi tidak percaya sering dilakukan berupa tanda tangan banyak orang sebagai bentuk ketidakpercayaan pada pemimpin. Mosi tidak percaya biasanya dilakukan dengan mengajak serta banyak orang.
Patih Jaya Antea pernah melakukan ini dengan memanggil satu-satu para penasehat raja, demang di kewedanaan bahkan kamituwo (kerio) yang merupakan pemimpin sebuah desa atau dusun.
Mereka yang seharusnya bekerja membantu raja dalam mengelola pemerintahan, dipaksa untuk berada dalam kebimbangan. Hal-hal seperti ini tentu saja akan menggangu jalannya pemerintahan hanya untuk sebuah nafsu kekuasaan sang senopati, patih, atau perdana menteri. Bagaimana mungkin seorang raja harus terdongkel bukan karena sebuah kesalahan yang fatal, bagaimana mungkin seorang raja harus turun tahta hanya sebuah penilaian yang subjektif dari seorang senopati. Sedangkan raja masih dicintai oleh rakyatnya dan dapat mensejahterakan masyarakat.
Fenomena seperti ini sangatlah absurd, bukan bentuk kecintaan terhadap kerajaan yang sedang bertumbuh. Mosi tidak percaya yang sebagian adalah bentuk pemaksaan dalam meng-iyakan atau yang sekarang disimbolkan penandatangan tidak bisa menjadi acuan untuk mempertahankan atau menurunkan sang raja. Menarik untuk dibahas, agar menjadi pembelajaran dari setiap zaman terutama saat ini di era keterbukaan.
Hal yang dilakukan oleh patih Jaya Antea merupakan bentuk kezholiman terhadap sang Raja. Kecuali Raja melakukan kesalahan yang sangat fatal dan merugikan sebagian besar masyarakat mungkin upaya pendongkelan sah-sah saja. Kezholiman seperti ini tidak boleh dilakukan apalagi oleh Patih yang seharusnya tidak mementingkan diri sendiri saja.
Tidak ada satu ajaran pun yang membenarkan kezholiman terjadi diatas muka bumi. Salah satunya dalam ajaran Islam yang sangat tidak membenarkan perbuatan zholim. Dapat kita ketahui dalam firman Allah SWT yang ada dalam Al-Quran Surah Al-Furqan ayat 19, yang artinya :
“Barangsiapa yang berbuat zalim, niscaya akan merasakan azab yang sangat besar”
Sebagai insan yang beragama, beradab, berbudaya tidak dibenarkan setiap warga negara melakukan kezholiman atas diri orang lain apalagi dalam hal ini kepada pemimpin. Apa yang pernah dilakukan Patih Jaya Antea terhadap Prabu Siliwangi seharusnya menjadi pelajaran bagi kita semua, bukan untuk diikuti apa lagi dijadikan panutan dalam menzholimi pemimpin-pemimpin kita.
Lantas, siapa raja dan pelaku yang membuat ulah dimaksud Bangun Jaya? (*)