PANGKALPINANG, AKSARA NEWSROOM.ID – Anggota DPRD Kota Pangkalpinang Depati Amir Gandhi angkat bicara perihal penyesuaian atau kenaikan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan dan Perkotaan (PBB-P2) di Pangkalpinang yang akhir-akhir ini menjadi pembahasan warga setempat.
Politisi PPP ini menilai ramainya perihal kenaikan NJOBP-PP2 diakibatkan kurangnya sosialisasi kepada masyarakat setelah munculnya kebijakan terhadap Penetapan SPPT PBB-P2.
“Tidak adanya sosialisasi tersebut akhirnya membuat gejolak masyarakat kita, mereka sangat terkejut dengan hadirnya SPPT yang mencapai kenaikan seribu sampai 1.500 persen,” ungkapnya, Senin (14/2/2022).
“Jadi wajar kalau mereka terkejut. Seharusnya kan ada sosialisasi dulu. Bahkan di DPRD pun tidak tembusannya. Jadi teman-teman di DPRD juga kebingungan. Ini dasar kenaikannya apa,” tanya Gandhi.
Gandhi mengatakan kebijakan pemerintah tersebut dituangkan melalui kepala daerah dalam bentuk PP Walikota maupun SK Walikota. Atas persoalan itu, ia meminta Pemkot Pangkalpinang segera mengkaji ulang penetapan SPPT PBB-P2.
“Saya kira ini perlu dikaji ulang, pertama kan ada UU 1 Tahun 2022 terkait dengan hubungan keuangan pemerintahan daerah,” katanya.
Menurut Gandhi, SK Walikota tersebut masih merujuk pada UU 28 tentang Pajak dan Retribusi Daerah. Padahal dengan hadirnya UU 1 Tahun 2022 terkait dengan hak keuangan daerah bahwa seluruh produk UU 28 itu dihapuskan.
Tak hanya itu, kata Gandhi, kebijakan tersebut juga sangat terbuka untuk digugat ke PTUN jika pemerintah daerah dianggap berlawan atau tidak memenuhi azaz keadilan.
“Itu bisa digugat. Kalau SK Walikota silahkan digugat ke PTUN. Belum (menerima salinan SK/PP Penetapan NJOP PBB-P2-red). Makanya saya bilang di dalam rapat SK tersebut SK yang misterius,” kata Gandi.
Lebih jauh, Gandhi menuturkan pada Undang-udang Nomor 1 Tahun 2022 bahwa terdapat pasal terkait dengan relaksasi pajak daerah, khususnya pajak PPB perkotaan dan pedesaan. Sehingga dimungkinkan ada relaksasi dalam bentuk perhitungan nilai NJOP-PP2 yang dimasukkan dalam PBB-P2 itu tidak seratus persen.
“Tetapi diatur angkanya cukup 20-100 persen. Nah, disana lah letak realisasinya. Walikota dapat memberi kebijakan bahwa di zona tertentu ini cukup 30 persen karena kawasan pemukiman padat penduduk yang mayoritas masyarakatnya MBR atau di perumahan subsidi cukup 20 persen. Atau misalnya di wilayah perumahan komersil,” pungkasnya. (hjk/dd).