AKSARANEWSROOM.ID – Prasasti Kota Kapur dikenal cukup luas sebagai prasasti peninggalan dari Kerajaan Sriwijaya kala itu, tepatnya ditemukan di sebuah desa yang terletak di Pulau Bangka, Provinsi Bangka Belitung.
Prasasti Kota Kapur ditemukan oleh JK Van Der Meulen pada tahun 1892 di Desa Kota Kapur, yang pada waktu itu masuk dalam wilayah distrik Sungai Selan.
Prasasti yang menyerupai tugu itu ditulis dengan huruf Aksara Pallawa dan berbahasa Melayu Kuno. Diketahui pula, isi sepuluh baris pada Prasasti Kota Kapur diketahui tentang nama Sriwijaya sebagai Kedatuan besar di nusantara.
Sementara, bagian kesepuluh atau terakhir pada kalimat akhir prasasti disebutkan bhumi Jawa tidak tunduk pada Sriwijaya yang ditafsirkan oleh ahli sejarah sebagai kerajaan Tarumanegara di Jawa.
“Salah satu inti isi prasasti adalah tentang aturan barang siapa yang tunduk dan patuh pada Sriwijaya akan mendapatkan perlindungan dan hadiah dan barangsiapa yang tidak patuh akan mendapatkan hukuman dan disebut bahwa bhumi Jawa tidak tunduk pada Sriwijaya,” ujar Dato’ Akhmad Elvian, DPMP, Budayawan dan Sejarawan Bangka Belitung.
“Prasasti Kotakapur ditemukan oleh JK Van Der Meulen, kepala distrik Sungai Selan pada tahun 1892 di Desa Kota Kapur, yang pada waktu itu masuk dalam wilayah distrik Sungaiselan,” ungkap Sejarawan dan Budayawan Penerima Anugerah Kebudayaan itu kepada Aksara Newsroom.
Dia menuturkan temuan Prasasti Kota Kapur yang ditulis dengan huruf Pallawa berbahasa Melayu Kuno itu, menunjukkan penyimpangan tradisi ortografi dari Pallawa-Sanksekerta ke tradisi Pallawa-Melayu Kuno.
“Hal ini menunjukkan kuatnya dominasi lokal Bangka, dan menjadi awal perkembangan bahasa Melayu Kuno, menjadi lingua pranca di nusantara yang kemudian berkembang menjadi bahasa melayu dan bahasa Indonesia yang kita kenal sekarang,” imbuhnya.
Akhmad Elvian berkata dari isi sepuluh baris Prasasti Kota Kapur dapat diketahui tentang nama Kedatuan besar di nusantara pada baris kedua, selanjutnya pada baris keempat diketahui tentang datu atau dato Sriwijaya dan baris kesepuluh tentang bala atau tentara Sriwijaya.
Pada kalimat akhir prasasti disebutkan bhumi Jawa tidak tunduk pada Sriwijaya yang ditafsirkan oleh ahli sejarah sebagai kerajaan Tarumanegara di Jawa.
Prasasti Kota Kapur juga berisi tentang ajaran Budha dan aturan-aturan dalam kehidupan masyarakat sehingga prasasti Kota Kapur seringkali disebut dengan piagam konstitusi.
“Berdasarkan temuan terakhir di Kota Kapur yaitu prasasti Kota Kapur II dan tertulis tentang Dhang Camwa Dimaharata yang menunjukkan bahwa Dhang Camwa adalah penguasa atau raja yang berkuasa di Kota Kapur Bangka,” jelasnya.
Kota Kapur Pusat Peradaban Bangka Lebih Tua Dua Abad sebelum Sriwijaya
Budayawan dan Sejarawan Akhmad Elvian berkata bahwa dapat disimpulkan berdasarkan temuan arkeologis di Kota Kapur seperti pada tiga sisa bangunan candi yang tidak utuh lagi, dimana potongan-potongan Arca Wisnu berlengan empat, terak bekas pembakaran logam, benteng tanah benteng kota dualapis, sisa sisa tonggak dermaga serta papan papan perahu dengan teknik kupingan pengikat, serta beragam perhiasan emas di sekitar candi terutama dekat peripih.
“Dapat disimpulkan bahwa pada abad 4-5 Masehi atau 2 abad sebelum kejayaan Kedatuan Sriwijaya, peradaban Bangka di Kota Kapur sudah sangat maju,” ungkapnya.

Berdasarkan bentuk Candi dan Arca Wisnu yang ditemukan, katanya, menunjukkan bahwa masyarakatnya sudah memeluk agama Hindu aliran Waisnawa dan dari temuan perhiasan emas di bagian pripih candi diketahui bahwa candi berfungsi sebagai makam orang penting atau bangsawan hal ini diketahui dari perhiasan emas berbentuk kura kura.
Jenis candi adalah berbentuk mendapa sehingga bagian atas candi saat ini tidak ditemukan lagi karena rusak oleh faktor alam dan manusia. Dari temuan bekas dermaga dan papan perahu, kata Budayawan dan Sejarawan itu, dapat dipastikan keletakan Kota Kapur yang strategis sebagai pelabuhan karena terletak di Muara Sungai Menduk dekat Selat Bangka.

“Yang merupakan alur perdagangan dunia (the favorite commercial coast) dan Kotakapur merupakan satu kota pelabuhan pengumpul atau feeder point yang berfungsi memasok bahan kebutuhan ekspor seperti Lada, gaharu, kemenyan, Pinang, Timah, lilin madu, dan kayu wangi (Gonstilus Bancanus) yang merupakan komoditas di Pulau Bangka,” ungkapnya.
Baca juga : Menelisik Jalur Rempah-rempah di Pulau Bangka, Diawali dari Kota Kapur
Pelabuhan Kota Kapur juga menunjukkan bahwa pulau Bangka sudah melakukan hubungan dagang dengan dunia luar dengan benteng tanah sebagai pusat pertahanan kekuasaan dan pemukiman masyarakatnya.
Hubungan dagang dengan dunia luar tampak dari terak bekas pembakaran logam atau pembuatan komoditas barang dari perunggu dan temuan pecahan pecahan keramik dari berbagai masa.
“Pada abad ke 7 masehi (Paruh Terang Wulan Waisaka 608 Saka), Kota Kapur menjadi salah satu Mandala dari Kedatuan Sriwijaya dan menjadi salah satu kota dagang dari Sriwijaya,” ujar Dato Akhmad Elvian, Sejarawan dan Budayawan Penerima Anugerah Kebudayaan tersebut.
Penulis : Hendri Kusuma/Dede