Aksaranewsroom.id – Kerito Surong, ialah sebutan dari nama moda transportasi atau sarana angkutan tradisional tertua di Pulau Bangka dan Belitung pada masanya setelah penggunaan tandu. Moda transportasi itu diperkirakan telah digunakan sejak tahun 1724 Masehi hingga akhir abad 20 Masehi.
Sesuai dengan namanya yakni Kerito Surong, sistem transportasi ini berjalan dengan cara didorong. Keseluruhan Kerito Surong terbuat dari bahan kayu, termasuk pada bagian kedua rodanya.
Kerito Surong digunakan sebagai alat transportasi multifungsi, mulai untuk mengangkut hasil bumi atau hasil pertanian maupun hasil tambang yakni timah, termasuk manusia sendiri dan kebutuhan lainnya.
“Kerito Surong adalah alat angkut yang paling tua di Pulau Bangka setelah penggunaan tandu,” kata Sejarawan dan Budayawan Bangka Belitung, Drs Akhmad Elvian kepada Aksara Newsroom.
Dalam karya ilmiahnya, Akhmad Elvian menuliskan, Kerito Surong atau dalam bahasa Hakka disebut Kai Kung Cha yang berarti Gerobak Tangan Tionghoa, sedangkan orang Belanda menyebutnya dengan āPiepkarā yang bermakna gerobak.
Piepkar atau Gerobak Tangan Tionghoa selanjutnya lebih populer sebutannya baik oleh pribumi Bangka maupun oleh orang Tionghoa dengan Kerito Surong.
Keseluruhan dari Kerito Surong dibuat berbahan kayu, termasuk bagian rodanya yang bundar, pipih dan lebar dibuat dari bahan kayu yang utuh dan dipilih dari jenis kayu yang liat dan keras.
Bagian roda Kerito Surong biasanya dibuat dari kayu yang diambil dari akar pohon yang keluar ke atas tanah seperti papan pada pangkal pokok pohon yang disebut oleh pribumi Bangka dengan ābaner atau banirā.
Agar roda berputar dengan lancar, Akhmad Elvian berujar pada bagian tengah roda Kerito Surong dihubungkan dengan as roda yang juga terbuat dari kayu.
“As kayu di bagian tengah roda Kerito Surong sekaligus berfungsi untuk menghubungkannya dengan dua bilah kayu di bagian kiri dan kanannya yang berfungsi untuk badan, sekaligus untuk pegangan orang yang mendorongnya,” tulis Sejarawan dan Budayawan Penerima Anugerah Kebudayaan itu.
Gerobak Tangan Tionghoa atau Kerito Surong berbeda dengan gerobak Barat (Piepkar) karena beban yang diangkut oleh Kerito Surong ditopang oleh roda yang terbuat dari kayu (tidak elastis), sebaliknya pada Piepkar atau Gerobak Barat, beban yang diangkut tumpuannya berada di lengan dan bahu yang mendorong.
Transportasi Multifungsi, Termasuk
Digunakan Sebagai Alat angkut Timah
Kerito Surong merupakan sarana angkutan yang multifungsi dan sebagai alat angkut yang sangat tua di Pulau Bangka.
Kerito Surong dapat mengangkut beban sampai dengan berat 100 kilogram, dapat mengangkut barang-barang ringan termasuk mengangkut orang, begitu pula mengangkut orang yang sedang sakit.
Kerito Surong yang digunakan untuk mengangkut orang, biasanya pada bagian tengah tempat meletakkan barang diberi atap pelindung agar tidak basah dan terlindung dari sengatan matahari.
Sebelum digunakannya peralatan bermesin, Kerito Surong merupakan alat angkut untuk balok-balok timah pada jarak pendek, misalnya dari tempat peleburan timah ke gudang-gudang atau tempat penimbunan timah.
Terdapat jalan setapak yang menghubungkan lokasi satu kampung dengan ladang padi atau kebun, atau parit penambangan timah.
“Bagi masyarakat Bangka, Kerito Surong sangat familiar sebagai sarana angkutan untuk mengangkut kayu api, junjung untuk sahang, mengangkut hasil-hasil bumi dan hasil pertanian serta menjadi alat angkut yang multifungsi,” tulis Dato’ Akhmad Elvian, DPMP.
Kunjungan Raja Chulalongkorn ke Batavia dan sempat singgah di Muntok
Sejak Tahun 1724 Masehi, Kerito Surong telah digunakan secara umum di Pulau Bangka sebagai sarana angkutan di wilayah Pulau Bangka termasuk juga di Pulau Belitong, dan tidak dijumpai di bagian wilayah lain Hindia Belanda, bahkan Kerito Surong masih berfungsi dan digunakan di Pulau Bangka dan Pulau Belitung hingga akhir abad 20 Masehi.
Tidak berlebihan jika dikatakan, tulis Akhmad Elvian, bahwa Kerito Surong merupakan alat angkut yang hanya berkembang di Pulau Bangka dan Pulau Belitong, sebab pada saat Raja Siam (Thailand) Chulalongkorn berkunjung ke Batavia pada Tahun 1871 Masehi dan di Batavia, ia menghadiahkan satu Patung Gajah Perunggu kepada Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen, yang kini adalah Museum Nasional Jakarta.
Sebelum ke Batavia Raja Siam (Thailand) Chulalongkorn singgah di Kota Mentok pada Tahun 1896 Masehi, dijelaskan Elvian, beliau mencatat dan menyebutkan dalam catatan hariannya, bahwa Kerito Surong sebagai alat transportasi barang (Kesawattana,1987), orang Belanda menyebutnya dengan āPiepkarā(Bogaart, 1803), yang berbunyi seperti cicitan babi.
“Bunyi cicitan pada Kerito Surong semakin keras bila pada bagian as pada roda diolesi dengan minyak yang dicampur dengan air,” tulis Akhmad Elvian.
“Pada jarak yang cukup jauh bunyi cicitan Kerito Surong akan terdengar cukup jelas dan menandakan, bahwa terdapat jalan setapak yang menghubungkan lokasi satu kampung dengan ladang padi atau ume, kebun, atau parit penambangan timah.”
Jalan Berkelok Ditaklukkan Kerito Surong
Jalan setapak yang digunakan di samping sebagai jalan Kereta Surong, juga digunakan oleh pejalan kaki, jalan tersebut biasanya sangat berliku-liku dan terjal, bahkan kadang-kadang licin dan harus melewati beberapa aik tumbek (sumber mata air di tengah hutan), dan beberapa titian kayu.
“Sehingga memerlukan kehati-hatian dan keterampilan bagi orang yang mendorong Kerito Surong.”
Banyak jalan di Pulau Bangka yang kemudian dibangun dan dilebarkan mengikuti jalan yang awalnya dilewati Kerito Surong, sehingga tidak mengherankan banyak jalan di Pulau Bangka yang tidak lurus, berkelok, banyak tikungan patah, melewati begitu banyak sungai sehingga pada jarak berdekatan harus dibangun jembatan.
“Jalan-jalan tersebut menyebabkan jarak tempuh semakin jauh dan sangat melelahkan,” tulis Akhmad Elvian.
Penulis : Hendri Kusuma/Dede